Gelombang Laut Tinggi, Pelayaran agar Ditunda
JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah memberikan peringatan dini terhadap pelayaran di Indonesia karena adanya gelombang tinggi. Kementerian Perhubungan pun menerbitkan instruksi untuk menunda pelayaran kapal laut.
Kepala Seksi Operasi Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas I Tanjung Priok Pujo Kurnianto mengatakan, Kementerian Perhubungan telah menerbitkan instruksi melalui Maklumat Pelayaran untuk menunda pelayaran kapal laut.
Dalam maklumat tersebut disampaikan, pemberian surat persetujuan berlayar (SPB) sebaiknya ditunda untuk perahu nelayan, tongkang, kapal roro, kapal landing, feri, dan kapal penumpang berkecepatan tinggi yang berlayar pada semua perairan yang diperkirakan mengalami cuaca ekstrem dengan tinggi gelombang laut 2-3 meter.
Kapal yang tinggi lambung timbulnya kurang dari 3 meter diimbau untuk tidak berlayar pada perairan yang diperkirakan mengalami cuaca ekstrem dengan tinggi gelombang 3-6 meter.
”Semua ukuran dan jenis kapal yang berlayar pada perairan yang diperkirakan mengalami masalah dengan tinggi gelombang laut 4-6 meter sebaiknya ditunda SPB-nya,” ujar Pujo di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Dalam penerbitan SPB bagi kapal yang akan berlayar melalui perairan dengan gelombang setinggi 2-4 meter, perlu dipertimbangkan kelaiklautan kapal, jumlah alat penyelamat, dan radio komunikasi dipastikan berfungsi dengan baik serta jumlah penumpang dan muatan tidak melebihi kapasitas.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut meminta agar para syahbandar tidak memberikan izin berlayar untuk kapal-kapal yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Kepala Kantor Kepala Stasiun Radio Pantai juga diperintahkan untuk membuka frekuensi radio marabahaya.
”Kepala Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai juga diminta untuk menyiapkan diri dalam menghadapi kondisi darurat di laut,” kata Pujo.
Sebelumnya diberitakan, gelombang setinggi 2,5 meter hingga 4 meter diperkirakan terjadi di perairan barat Pulau Simeulue hingga Kepulauan Mentawai, perairan Pulau Enggano hingga barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Banten hingga Jawa Tengah, serta Samudra Hindia barat Sumatra hingga Jawa Tengah.
Selain itu, juga di perairan utara Kepulauan Anambas dan Laut Natuna, Laut Jawa bagian tengah, Laut Bali, perairan selatan Baubau, Kepulauan Wakatobi, Laut Banda bagian selatan, perairan Kepulauan Sermata, Kepulauan Babar, dan Laut Arafuru bagian barat.
Potensi gelombang tinggi 4 meter hingga 6 meter diperkirakan terjadi di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara, perairan utara Kepulauan Natuna, Laut Jawa bagian timur hingga Laut Sumbawa, Selat Makassar bagian selatan, dan perairan selatan Jawa Timur hingga Pulau Rote.
Selain itu, gelombang setinggi 4-6 meter diperkirakan juga terjadi di Selat Bali, Selat Lombok, Selat Alas bagian selatan, Samudra Hindia selatan Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Timur, perairan utara Flores, perairan Kepulauan Sabalana, Kepulauan Selayar, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Timor selatan Nusa Tenggara Timur.
Kepala Subbidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra mengatakan, tingginya gelombang air laut dipengaruhi dorongan udara dingin monsun Asia disertai dorongan angin dari selatan atau Samudra Hindia. Tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan dorongan angin ke arah Indonesia. Akibatnya, ketinggian gelombang laut dari selatan Selat Sunda, selatan Bengkulu, Lampung, dan selatan Jawa mencapai 3 meter hingga 4 meter.
Walaupun perairan dalam terlihat lebih baik, angin yang bertiup di Laut Jawa cukup kencang sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai 3 meter. Agie berharap, nelayan di selatan Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berhati-hati atau tidak melaut dalam waktu 3-5 hari ke depan karena selain hujan lebat, angin yang bertiup juga kencang.
Adapun perahu nelayan tidak dapat melaju ketika kecepatan angin yang bertiup lebih dari 15 knot dan tinggi gelombang di atas 1,25 meter. Tongkang tidak dapat melaju ketika kecepatan angin lebih dari 16 knot dan tinggi gelombang di atas 1,5 meter. Feri tidak dapat melaju ketika kecepatan angin lebih dari 21 knot dan tinggi gelombang di atas 2,5 meter.
Agie mengatakan, untuk saat ini jalur penyeberangan masih aman. Adapun kapal ukuran besar, seperti kapal kargo atau kapal pesiar, tidak dapat melaju ketika kecepatan angin lebih dari 27 knot dan tinggi gelombang di atas 4 meter.
Banjir
Hujan berintensitas tinggi disertai angin kencang dan gelombang pasang menyebabkan sungai-sungai meluap sehingga terjadi banjir di wilayah Sulawesi Selatan pada Rabu (23/1/2019).
Berdasarkan data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat 53 kecamatan di 9 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang mengalami banjir, yaitu Kabupaten Jeneponto, Gowa, Maros, Soppeng, Barru, Wajo, Bantaeng, Pangkep, dan Kota Makassar.
Dampak sementara akibat banjir, longsor, dan angin kencang yang dihimpun Posko BNPB berdasarkan laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah, tercatat 8 orang meninggal, 4 orang hilang, dan ribuan rumah terendam banjir. Ribuan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman dan 10.021 hektar sawah terendam banjir.
Korban meninggal ditemukan di Jeneponto sebanyak 5 orang dan di Gowa 3 orang. Sementara korban hilang terdapat di Jeneponto sebanyak 3 orang dan Pangkep 1 orang. Hingga Rabu (23/1/2019) pukul 14.00 WIB, banjir masih melanda banyak daerah.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menuturkan, penanganan darurat dan pendataan masih terus dilakukan sehingga perkembangan data akan berubah.
Di Kabupaten Jeneponto, banjir melanda 21 desa di 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Arung Keke, Bangkala, Bangkala Barat, Batang, Binamu, Tamalatea, Tarowang, Kelara, dan Turatea dengan tinggi banjir 50-200 sentimeter. Banjir terjadi akibat hujan deras sehingga sungai-sungai meluap, antara lain Sungai Topa, Allu, Bululoe, Tamanroya, Kanawaya, dan Tarowang.
Dampak yang ditimbulkan adalah 5 orang meninggal, 3 orang hilang, 5 rumah hanyut, 51 rumah rusak berat, ribuan warga mengungsi, dan ribuan rumah terendam banjir.
Evakuasi, pencarian, penyelamatan dan distribusi bantuan masih terus dilakukan. Banyak warga yang mengungsi sementara di atap rumah sambil menunggu dievakuasi. Tim SAR gabungan dari BPBD, TNI, Polri, Basarnas, SKPD, PMI, Tagana, relawan, dan lainnya melakukan penanganan darurat.
Di Kota Makassar, banjir melanda 14 kecamatan, yaitu Kecamatan Biringkanaya, Bontoloa, Kampung Sangkarang, Makassar, Mamajang, Manggala, Mariso, Pankkukang, Rampocini, Tallo, Tamalanrea, Tamalate, Ujung Pandang, dan Ujung Tanah. Sekitar 1.000 jiwa mengungsi. Banjir juga disebabkan hujan deras, kemudian sungai-sungai yang bermuara di Kota Makassar meluap.
Di Kabupaten Gowa, banjir melanda tujuh kecamatan, yaitu Somba Opu, Bontomanannu, Pattalasang, Parangloe, Palangga, Tombolonggo, dan Manuju. Selain hujan deras, banjir juga disebabkan dibukanya pintu Waduk Bili-Bili karena terus meningkatnya volume air di waduk sehingga untuk mengamankan waduk, debit aliran keluar dari Waduk Bili-Bili ditingkatkan.
Tercatat 3 orang meninggal, 45 orang luka-luka, 2.121 orang mengungsi yang tersebar di 13 lokasi pengungsian, serta lebih dari 500 rumah terendam banjir setinggi 50-200 sentimeter yang merupakan dampak banjir di Gowa.
Banjir juga menyebabkan dua jembatan rusak berat sehingga tidak dapat digunakan, yaitu jembatan Jenelata di Desa Moncong Loe, Kecamatan Manuju, dan jembatan di Dusun Limoa di Desa Patalikang, Kecamatan Manuju. Hujan deras juga memicu longsor di beberapa tempat sehingga menutup jalan dan merusak beberapa rumah.
Sementara itu, banjir di Kabupaten Maros melanda 11 kecamatan. Lebih dari 1.400 orang mengungsi. Listrik padam sehingga komunikasi juga putus.
Sutopo mengatakan, posko BNPB terus berkoordinasi dengan Pusdalops BPBD. Tim Reaksi Cepat BNPB mendampingi BPBD. Penanganan darurat masih terus dilakukan oleh tim gabungan.
”Perahu karet dan bantuan makanan untuk pengungsi masih diperlukan. Korban hilang masih dilakukan pencarian. Kondisi hujan yang masih berlangsung dan luasnya wilayah yang terkena banjir cukup menyulitkan dalam penanganan,” tutur Sutopo.
Beberapa stasiun penakar hujan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta BMKG mencatat, curah hujan di Pos 1 Bawangkaraeng mencapai 308 milimeter per hari, di Lengkese mencapai 329 milimeter per hari, di KD-1 mencapai 234 milimeter per hari, di Limbungan 328 milimeter per hari, dan di Bili-Bili 88 milimeter per hari. Intensitas curah hujan selebat ini tergolong ekstrem sehingga permukaan tanah tidak mampu menyerap semua air dan sungai juga tidak mampu menampung air permukaan.
Sementara itu, debit dan volume Waduk Bili-Bili terus menurun. Hingga Rabu (23/1/2019) pukul 14.00 WIB, tinggi muka air Waduk Bili-Bili sudah mulai menurun menjadi 100,64 meter, volume waduk 277,55 juta meter kubik, dan inflow sekitar 927,77 meter kubik per detik. Meskipun masih dalam batas Siaga, kondisinya terus mengalami penurunan.
Pemerintah daerah dan masyarakat diimbau terus meningkatkan kewaspadaan menghadapi banjir dan tanah longsor. BMKG telah menyebarkan peringatan dini hujan lebat pada periode 23-30 Januari 2019. Puncak hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung selama Januari hingga Februari 2019.
Sutopo mengatakan, secara statistik dari data kejadian bencana selama 20 tahun terakhir menunjukkan, bulan Januari dan Februari adalah puncak kejadian bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, longsor, dan puting beliung.
”Polanya mengikuti pola curah hujan,” ujar Sutopo.