Arisan Megawati hingga Kenangan Para Mantan Menteri
Di hari ulang tahun ke-72 Megawati Sukarnoputri, Rabu (23/1/2019), para mantan pembantunya di Kabinet Gotong Royong meluncurkan buku berjudul “The Brave Lady”. Peluncuran buku pun menjadi ajang reuni Presiden ke-5 itu, dengan kabinetnya. Berbagai kisah menarik muncul. Salah satunya soal kelompok arisan Megawati.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di hari ulang tahun ke-72 Megawati Sukarnoputri, Rabu (23/1/2019), para mantan pembantunya di Kabinet Gotong Royong meluncurkan buku berjudul “The Brave Lady”. Peluncuran buku pun menjadi ajang reuni Presiden ke-5 itu, dengan kabinetnya. Berbagai kisah menarik muncul. Salah satunya, kelompok arisan Megawati dengan para istri menterinya.
Buku "The Brave Lady" menceritakan kisah-kisah para menteri di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri (2001-2004), selama jalannya pemerintahan Megawati.
Para menteri di Kabinet Gotong Royong yang tampak hadir saat peluncuran buku, diantaranya Hatta Rajasa, Purnomo Yusgiantoro, Boediono, Rokhmin Dahuri, Faisal Tamin, Hasan Wirajuda, Yusril Ihza Mahendra, Kwik Kian Kian Gie, dan Malik Fajar. Selain itu, tampak hadir pula mantan Kapolri Dai Bachtiar.
Selain para mantan menteri Megawati, hadir pula para mantan wakil presiden, yaitu Try Sutrisno, Hamzah Haz, dan Boediono. Sejumlah menteri Kabinet Kerja juga terlihat hadir, diantaranya Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifudin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Ajang pertemuan Megawati dengan para mantan menterinya tak hanya menjadi ajang reuni tetapi sekaligus nostalgia.
Megawati misalnya, bercerita saat rapat terakhir Kabinet Gotong Royong. Usai rapat, para istri menteri mendadak ingin menemuinya.
"Mereka menyuarakan suara hati bahwa jangan berpisah. Saya tanya memang mau ke mana? Ternyata maksudnya pisah berkumpul," katanya.
Alhasil, ketika Megawati tak lagi menjabat Presiden, dia dan para istri menteri membuat perkumpulan arisan. Arisan diberi nama Paguyuban Nusantara. Hingga kini, arisan ini masih aktif. Setiap dua bulan sekali, mereka bertemu.
Ketika arisan digelar, tak jarang suami mereka turut serta mendampingi istrinya. Dan ketika para suami yang juga mantan menterinya berkumpul, saat itulah dia kerap berkata, "Saya bilang, rapat kabinet dimulai." Ceritanya ini tak pelak membuat tamu yang hadir tertawa.
Kisah Boediono
Boediono sebagai salah satu pembicara dan penulis buku "The Brave Lady" turut menceritakan kisahnya saat ditunjuk Megawati sebagai menteri keuangan. Ia mengatakan, saat didapuk menjadi menteri, mantan wakil presiden ini, sama sekali belum pernah berjumpa tatap muka dengan Megawati.
“Suatu malam, Tahun 2001, telepon rumah saya berdering. Ternyata di sebelah sana suara Ibu Megawati. Beliau tanpa basa-basi langsung menawarkan posisi sebagai menteri keuangan di kabinet beliau yang baru akan dibentuk beberapa hari kemudian,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Boediono pun mengenang, di masa pemerintahan Megawati, efisiensi pembangunan negara terletak pada pembangunan yang berkesinambungan dan tidak serta-merta berhenti saat pemimpin berganti.
Ini pun hendaknya menjadi pegangan di pemerintahan yang ada saat ini dan pemerintahan berikutnya hasil Pemilu 2019.
“Kalau mau pembangunan maju, harus ada estafet yang baik. Pemerintahan yang satu memberi tongkat estafet ke pemerintahan berikutnya, dan meninggalkan negara dalam keadaan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya,” katanya.
“Tidak mungkin masalah pembangunan suatu negara hanya diselesaikan dalam waktu lima tahun, atau 10 tahun, karena masalahnya sangat fundamental,” lanjut Boediono.
Purnomo Yusgiantoro yang di era pemerintahan Megawati dipilih menjabat menteri energi dan sumber daya mineral, tak mau kalah. Dia pun turut menyumbangkan kisahnya. Bahkan dia menyebut, dirinyalah yang mengusulkan agar buku diberi judul "The Brave Lady" atau artinya perempuan pemberani. Ini dengan berkaca pada keberanian Megawati mengambil keputusan-keputusan.
Salah satunya, saat Megawati mengunjungi Amerika Serikat pasca serangan teror di Menara Kembar World Trade Center di New York, 11 September 2001.
Sebelum kepergian Megawati ke AS, Purnomo sebenarnya sempat memberi masukan kepada Megawati agar kepergiannya ditunda. Alasannya tentu karena keamanan. Serangan teror dikhawatirkan terjadi saat Mega di AS.
“Ibu (Megawati), ini Amerika keadaannya sedang tidak pasti, ada serangan," kata Purnomo kepada Megawati saat itu.
"Namun Ibu (Megawati) menyampaikan saya tetap berangkat. Itu salah satu contohnya (keberanian Megawati),” lanjut Purnomo.
Hasil dari kunjungan itu, Indonesia meraup keuntungan. Indonesia mendapat komitmen investasi sebesar Rp 200 triliun. Investasi yang penting artinya buat Indonesia karena kondisi perekonomian yang sedang bermasalah saat itu.
Mengerjakan 200 RUU
Kisah lain disumbangkan Yusril Ihza Mahendra. Yusril yang saat itu menjabat menteri hukum dan hak asasi manusia (menkumham) bercerita, banyak perubahan mendasar di bidang hukum saat Megawati menjabat Presiden..
Tak hanya itu, dia menceritakan, pemerintahan Megawati mengerjakan sedikitnya 200 rancangan undang-undang (RUU) baru dalam kurun waktu pemerintahannya yang hanya 3,5 tahun.
“Sekian banyak institusi baru diciptakan. Mahkamah Konstitusi, KPK, PPATK, sekian banyak produk perundang-undangan yang dibuat saat itu, yang sampai sekarang masih dipakai,” tutur Yusril. (Melati Mewangi)