UKM Pengawal Ideologi Bangsa Akan Dibentuk di Perguruan Tinggi
Oleh
Madina Nusrat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Unit kegiatan mahasiswa (UKM) untuk mengawal Pancasila akan dibentuk pada Agustus 2019 di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Pembentukan UKM itu sebagai upaya mengendalikan kecenderungan milenial yang mendukung mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem negara khilafah.
Hal itu disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir di Jakarta, Selasa (22/1/2019). Menurut Nasir, geliat penyebaran paham khilafah sudah terbangun sejak lama, sekitar dua dekade silam. Namun, paham khilafah tidak sesuai dengan ideologi bangsa sehingga perlu dilakukan kontra narasi.
“Kita akan beri pemahaman tentang empat pilar kebangsaan. Pertama adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Pancasila sebagai ideologi bangsa, UUD 1945 sebagai dasar negara, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar ini harus kita ajarkan terus,” kata Nasir.
UKM itu akan dibentuk dengan nama UKM Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB). Pembentukannya merujuk pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan.
UKM PIB akan difasilitasi oleh rektor di masing-masing perguruan tinggi. Rektor juga akan berperan sebagai penanggung jawab UKM ini.
Nasir mengatakan, sudah ada sejumlah rektor yang merespons positif wacana pembentukan UKM PIB. Kegiatan UKM itu diproyeksikan mulai berjalan pada Agustus 2019.
“Kami akan menarik sejumlah organisasi mahasiswa yang belum terhimpun dengan baik di kampus, misalnya Pergerakan Mahasiswa Indonesia Islam (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katolilk Republik Indonesia (PMKRI), dan sebagainya. Kami ingin tarik mereka ke kampus agar bisa berkolaborasi untuk menjaga NKRI,” kata Nasir.
Analisis penyebab
Sejumlah faktor ditengarai menyebabkan munculnya tendensi milenial untuk mendukung khilafah. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil mengatakan, kemudahan memperoleh informasi secara digital menjadi salah satu faktornya .
“Generasi milenial banyak belajar tanpa guru di media sosial dan internet. Padahal, (di internet) ada konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau hoaks. Belajar otodidak itu bagus, tapi rawan terjerumus,” kata Sukron.
Selain itu, menurut Sukron, ada pula milenial yang masih cuek terhadap kondisi politik di Indonesia. Salah satu penyebabnya karena politisi yang tidak berintegritas, sehingga membuat milenial kehilangan harapan atas perbaikan kondisi politik. Hal ini dinilai sebagai faktor lain yang menyebabkan milenial mulai melirik paham khilafah.
Menurut hasil survei oleh IDN Research Institute bersama Alvara Research Center pada akhir 2018, ada satu dari lima milenial yang setuju dengan sistem khilafah. Penelitian dilakukan dengan 1.400 responden di 12 kota. Penelitian dilakukan pada responden kelahiran 1983-1998. Namun, potensi tendensi khilafah ada pada kategori perempuan dan milenial senior yang lahir pada 1983-1990. (Kompas.id, 21/1/2019).
Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengatakan, pemahaman Pancasila mulai pudar karena milenial kehilangan nilai sejarah negerinya. Ideologi kini dianggap utopis karena belum bisa menyelesaikan masalah.
Hasil survei oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan ada 90,5 persen milenial yang tidak setuju dengan gagasan mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Sementara itu, 9,5 persen lainnya setuju dengan penggantian Pancasila. Survei dilakukan pada Agustus 2017 di 34 provinsi di Indonesia.
Di sisi lain, hasil penelitian oleh Maarif Institute pada 2016 menunjukkan, lebih dari separuh siswa SMA di Jawa Barat mendukung pembentukan negara berbasis khilafah. Sementara itu, survei Wahid Foundation pada 2016 tentang radikalisme di kalangan aktivis Islam menunjukkan dukungan terhadap gagasan khilafah sebesar 78 persen. (Kompas, 26/9/2018)
Antonius mengatakan, metode pengajaran di sekolah juga berpengaruh pada pemahaman milenial terhadap Pancasila. Pengajaran yang tidak menarik juga bisa membuat milenial tidak menghayati Pancasila dengan baik.
Metode pembelajaran
Menurut Antonius, pengajaran Pancasila kepada milenial tak bisa lagi dilakukan melalui doktrin dan penataran. Pengajaran yang dialogis dan kreatif dinilai lebih sesuai dengan karakter milenial masa kini.
“Pengajarannya bisa melalui kreativitas dan seni yang sesuai dengan jiwa anak muda. Kemampuan nalar mahasiwa juga kritis. Kemampuan itu harus diberdayakan agar mereka mampu menerjemahkan nilai Pancasila dalam konteks kekinian,” kata Antonius.
Para pengajar pun dituntut agar lebih partisipatif dan komunikatif. Pengajar juga harus bisa mengajar dengan mengacu pada kedalaman reflektif nilai Pancasila.
Menurut Antonius, mahasiswa bisa diajak berdiskusi dan menggali sendiri tokoh-tokoh panutan yang mengamalkan nilai Pancasila, misalnya Abdurrahman Wahid dan YB Mangunwijaya. Hasil temuan itu kemudian dihayati bersama agar menjadi cara hidup. Cara belajar ini dinilai lebih efektif untuk menanamkan nasionalisme. (SEKAR GANDHAWANGI)