JAKARTA, KOMPAS — Menjelang beroperasinya mass rapid transit atau MRT Jakarta fase I pada akhir Maret 2019, PT MRT menjalin kerja sama dengan Komando Daerah Militer Jaya/Jayakarta memperkuat pengamanan obyek vital nasional itu. Namun, kerja sama ini dinilai melangkahi tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
Pada Selasa (22/1/2019), di Jakarta, Direktur Utama PT MRT William Sabandar menandatangani nota kesepahaman dengan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Joni Supriyanto. Salah satu isi kesepahaman itu adalah Kodam Jaya turut membantu mengamankan sejumlah obyek vital MRT.
Beberapa obyek yang dibutuhkan pengamanan antara lain area depo, gardu listrik, area transisi jalur layang ke jalur bawah tanah, suar penyejuk, dan suar ventilasi. ”Tujuannya agar MRT beroperasi dengan baik tanpa hambatan. Ini karena teknologinya sudah tinggi sehingga masyarakat harus aman dan nyaman saat naik MRT,” kata Wiliam.
Menurut William, alasan melibatkan seluruh elemen keamanan negara karena MRT merupakan salah sebagai obyek vital negara, yang baru pertama ada di Indonesia. MRT juga mempunyai berbagai infrastruktur berteknologi tinggi yang harus diawasi.
Pelibatan ini juga merupakan bagian dari upaya meningkatkan sinergitas antara kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. ”Keamanan tetap menjadi tugas dari polisi. Kalau TNI ini, kami hanya meminta dukungan untuk membantu, baik dalam situasi normal maupun tidak normal,” ucapnya.
Joni menambahkan, keterlibatan Kodam Jaya/Jayakarta selain membantu pengamanan juga fokus pada sosialisasi kepada masyarakat agar kian memiliki kesadaran untuk beralih ke moda trasnportasi umum. Sosialisasi itu dilakukan dengan melibatkan 50 anggota TNI dan 250 masyarakat sipil setiap hari untuk mengikuti rangkaian uji coba.
”Dari pihak pengamanan sendiri, kami akan belajar bagaimana mengamankan apabila terjadi emergency di atas kereta ataupun di bawa kereta,” katanya.
Pemahaman keliru
Terkait kerja sama itu, pengamat militer Mufti Makarim mengatakan, selama ini ada pemahaman yang keliru tentang tugas perbantuan. TNI diasumsikan seolah-olah menganggur sehingga dapat diperbantukan untuk kegiatan apa pun. Padahal tugas utama TNI adalah siap siaga dalam menangkal ancaman yang membahayakan kesatuan negara.
”Yang ada itu kesiapsiagaan. Jadi, selalu siaga menghadapi ancaman pertahanan sehingga tugas dia latihan untuk membangun kesiagaan,” ucapnya.
Selain itu, otoritas sipil selama ini dinilai kebablasan dengan memberi banyak ruang bagi TNI untuk banyak terlibat pada urusan dalam negeri. Padahal, persoalan layanan publik seharusnya menjadi kewenangan otoritas sipil.
Kepala Penerangan Kodam Jaya Letkol (Inf) Kristomei Sianturi mengatakan, keterlibatan Kodam Jaya dalam pengamanan ini merupakan bagian dari tugas pokok TNI operasi militer selain perang (OMSP). Kodam Jaya juga mempunyai tugas menjaga keamanan wilayah di DKI Jakarta.
Meski demikian, kata Mufti, operasi militer selain perang sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang TNI hanya dapat digunakan dengan syarat tertentu atau dalam keadaan bahaya. Misalnya ada situasi pemerintahan sipil tidak mampu, peningkatan ancaman yang membutuhkan gelar kekuatan militer, atau keamanan sipil kekurangan personel, atau bencana alam.
”Untuk melibatkan mereka (TNI) harus ada kebijakan dan keputusan politik dari negara. Kalau tidak ada keputusan dan mengajak, itu berarti melanggar undang-undang sendiri,” ujarnya. (STEFANUS ATO)