BANDA ACEH, KOMPAS —Dinas dan badan di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh belum sepenuhnya membuka akses kepada publik untuk mendapatkan informasi. Tidak sedikit permintaan dokumen dan data yang sebenarnya masuk kategori terbuka harus ditempuh melalui sidang sengketa informasi publik.
Survei terbaru yang dilakukan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) terhadap dampak penyelesaian sengketa informasi pada Komisi Informasi Aceh (KIA) menyimpulkan, pemahaman aparatur pemerintah terhadap informasi publik masih rendah. Akibatnya, aparatur pemerintah menolak memberikan informasi kepada pemohon meskipun sebenarnya informasi itu tidak masuk dalam pengecualian.
Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik MaTA Hafidz, Selasa (22/1/2019) di Banda Aceh, mengatakan, pelayanan informasi publik pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) Aceh belum memuaskan. ”Hampir 80 persen badan publik tidak informatif atau tidak proaktif menyediakan informasi publik,” kata Hafidz.
Komisioner KIA, Hamdan Nurdin, mengatakan, setiap tahun terjadi peningkatan sengketa informasi yang ditangani KIA. Pada 2014 jumlah sengketa yang ditangani KIA mencapai 39 kasus, naik menjadi 44 pada 2015. Pada 2016 jumlah sengketa bertambah menjadi 70, kemudian naik lagi menjadi 74 sengketa pada 2017. Pada 2018 hingga Juli sudah terdapat 32 sengketa.
Sidang sengketa informasi merupakan peradilan untuk memutuskan suatu informasi terbuka atau tidak. Jika hakim di KIA memutuskan informasi tersebut terbuka, badan publik wajib memberikan informasi tersebut kepada pemohon.
Pemahaman rendah
Hamdan mengatakan, tingginya angka kasus menunjukkan pemahaman aparatur terhadap hak warga untuk mengakses informasi rendah dan sebaliknya pemahaman warga akan haknya untuk memperoleh informasi kian baik.
Padahal, semua dinas wajib membuat daftar informasi publik yang bisa diakses. ”Daftar informasi itu seperti menu di restoran sehingga memudahkan warga mengaksesnya,” kata Hamdan.
Hafidz mengatakan, meningkatnya penyelesaian sengketa informasi melalui sidang di KIA menandakan badan publik masih menutupi akses informasi. ”Anehnya badan publik masih menutup akses terhadap informasi yang telah diputuskan sebagai hak publik. Itu banyak terjadi dalam kasus permohonan dokumen amdal (analisis dampak lingkungan) dan perizinan tambang,” kata Hafidz.
Hafidz menambahkan, dalam survei yang mereka lakukan, ditemukan pemahaman yang berbeda terhadap informasi publik pada tataran pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) tingkat dinas dan badan di provinsi. ”Artinya, pemahaman aparatur terhadap undang-undang keterbukaan informasi sangat lemah,” ujar Hafidz.
Bahkan, belum semua dinas atau badan menyajikan informasi di situs web internal secara berkala. Padahal, informasi umum, kata Hafidz, semestinya dapat diperoleh di situs web tanpa harus melayangkan surat permohonan ke kantor tersebut.
Ketua Pelaksana Harian PPID Utama Aceh Asriani mengatakan, pelayanan penyediaan informasi publik pada tingkat dinas dan badan memang belum maksimal Hal itu disebabkan, sumber daya aparatur masih rendah dan sosialisasi juga belum maksimal. Pergantian aparatur dan perubahan organisasi perangkat daerah juga menghambat pelayanan.
”Kami sedang membenahi website milik dinas dan badan agar penyajian informasi lebih baik,” kata Asriani. (ZULKARNAINI MASRY)