JAKARTA, KOMPAS - Format laporan penerimaan sumbangan dana kampanye atau LPSDK dinilai tidak cukup mencerminkan transparansi dalam mekanisme penerimaan sumbangan dana kampanye lantaran tidak mencakup identitas detil penyumbang, seperti nomor pokok wajib pajak, kartu tanda penduduk, dan alamat. Kondisi ini membuka pada potensi terjadinya penyumbang fiktif.
Hasil pemantauan dari Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mendapati adanya penyumbang perseorangan dan kelompok yang identitasnya tidak jelas atau diduga fiktif. Pada pasangan Jokowi Widodo-Ma\'ruf Amin, tim pemantauan JPPR mendapati ada 18 penyumbang diduga fiktif. Adapun pada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditemukan 12 penyumbang yang diduga fiktif. Dari kubu Prabowo-Sandi jufa ditemukan adanya dua penyumbang kelompok yang diduga fiktif.
Totalnya, 18 penyumbang dengan identitas tidak jelas di kubu Jokowi-Ma\'ruf menyumbang Rp 7.770.475. Sementara itu, di kubu Prabowo-Sandi ada uang Rp 27.360.500 dari 12 penyumbang perseorangan dan dua penyumbang kelompok dengan identitas yang tidak jelas. Temuan itu dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Senin (21/1/2019) di Jakarta.
"Kami menemukan ada 18 penyumbang dengan identitas fiktif dari kubu Jokowi-Ma\'ruf, dan 12 penyumbang perseorangan dari kubu Prabowo-Sandi, serta dua penyumbang kelompok untuk Prabowo-Sandi. Temuan itu kami sampaikan kepada Bawaslu, karena adanya sejumlah persoalan, misalnya penyumbang tidak mengisi identitas lengkap, yang meliputi NPWP, KTP, dan alamat penyumbag," kata Alwan Ola Riantobi, Manajer Pemantauan Seknas JPPR, Senin di Jakarta.
Format LPSD itu dinilai tidak memenuhi aspek transparansi karena hanya memuat nama penyumbang. Paslon juga tidak melampirkan identitas penyumbang, alamat, dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 335 Ayat (4) UU Pemilu. "Format semacam ini menyulitkan masyarakat atau pemilih dalam melakukan investigasi lapangan terhadap sumbangan dana kampanye," kata Alwan.
Ketidakjelasan sumbangan dana kampanye memicu kerentanan atas hadirnya uang-uang kampanye dari penghasilan yang diperoleh dengan cara-cara yang abu-abu atau bahkan bertentangan dengan hukum.
Ketidakjelasan sumbangan dana kampanye memicu kerentanan atas hadirnya uang-uang kampanye dari penghasilan yang diperoleh dengan cara-cara yang abu-abu atau bahkan bertentangan dengan hukum. Tanpa kejelasan identitas penyumbang, menurut Alwan, integritas dan akuntabilitas Pemilu 2019 pada aspek pendanaan kampanye dipertanyakan.
Merujuk pada Pasal 497 UU Pemilu, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Menurut Alwan, berpegangan pada ketentuan itu, orang yang tidak menyampaikan kebenaran dalam laporan dana kampanye berpotensi dipidana.
Investigasi
Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, atas laporan itu pihaknya akan melakukan investigasi. Penelusuran identitas penyumbang menjadi salah satu hal yang dilakukan Bawaslu dalam investigasi tersebut.
"Kalau identitas belum jelas, itu bisa jadi karena penyumbang belum memberikan informasi. Karena itu, kami akan cek kasus per kasus. Karena menyembunyikan identitas dan informasi sumber dana kampanye yang tidak benar ada aturan pidananya," kata Afifuddin.
Anggota Bawaslu lainnya, Fritz Edward Siregar, yang menerima laporan dari JPPR menuturkan, ketentuan pidana terkait dengan laporan dana kampanye itu sangat berkaitan dengan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). “Data pada LPSDK ini bisa dijadikan acuan bagi Bawaslu untuk melihat apakah LPPDK-nya sesuai ataukah tidak," kata Fritz.
Ketidaksesuaian dalam LPPDK, menurut Fritz, harus disebutkan di dalam hasil audit oleh lembaga auditor yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketidaksesuaian informasi mengenai dana kampanye bisa dikenai pidana.
Direktur Ekskutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, regulasi yang ada saat ini, yakni UU Pemilu, belum memberikan ketentuan yang detil mengenai bagaimana pengawasan terhadap dana kampanye dilakukan. Pengawasan terhadap dana kampanye itu belum menjadi sesuatu yang dianggap penting, kendati itu sejatinya problem serius dalam pemilu.
"Aturan main yang ada belum memungkinkan adanya mekanisme yang mampu menjamin akuntabilitas dan kebenaran dana kampanye. Bawaslu rentan terjebak pada pengawasan yang sifatnya administratif ketimbang mengecek kebenaran dan kelayakan penyumbang,” kata Titi.
Menanggapi adanya dugaan penyumbang dana kampanye perseorangan dan kelompok yang identitasnya tidak jelas atau fiktif, Direktur Program Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Aria Bima mempersilakan KPU dan Bawaslu serta tim auditor yang ditunjuk KPU melakukan investigasi terhadap laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).
“Silakan dicek sumbangan yang tidak memenuhi persyaratan, kalau ada yang tidak jelas, maka memang uangnya otomatis tidak bisa dicairkan,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Eddy Soeparno mengatakan, jika ditemukan ada sumbangan dana kampanye yang identitasnya tidak jelas, hal itu pasti akan muncul saat tahap audit oleh tim auditor yang ditunjuk KPU. Ia mengakui, tidak semua sumbangan dapat ditelusuri identitasnya secara mendetail oleh tim sukses.
Namun, ia memastikan, proses pengumpulan sumbangan berlangsung transparan. Para penyumbang yang diterima oleh BPN juga dipastikan memenuhi aturan batas nominal yang diatur di undang-undang. “Terkait identitas, siapa-siapa yang menyumbang tidak mungkin bisa diketahui satu per satu. Namun, kalau memang ada temuan itu, kami persilakan untuk ditindaklanjuti, bisa diketahui nanti saat audit,” kata Eddy.