Harga Buah Naga Anjlok, Petani Tunda Panen
BANYUWANGI, KOMPAS – Harga jual buah naga di tingkat petani anjlok dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 2.000 per kilogram dalam sepekan. Untuk mengurangi kerugian, petani memilih menahan panen hingga harga kembali naik.
Menahan panen buah membuat petani harus berhadapan dengan risiko busuk buah. Buah naga yang tak kunjung dipanen juga berisiko dimakan burung. Mereka berharap ada solusi dari pemerintah daerah.
Ainurrohman (46), petani buah naga ketika ditemui di Banyuwangi, Selasa (22/1/2019) membenarkan hal itu. “Buah naga grade A yang beratnya 3,6 ons per buah hanya dihargai Rp 2.000 per kilogram. Sementara yang grade B dengan berat 1,8 ons per buah dihargai Rp 1.000 per kilogram,” ungkapnya.
Harga tersebut jauh di bawah harga jual minggu lalu. Sebelumnya harga buah naga grade A Rp 5.000 per kg sedangkan grade B Rp 2.500 per kg. Harga buah naga mulai mengalami penurunan sejak akhir November 2018.
Ainurrohman mengatakan, anjloknya harga di bulan Januari karena saat ini merupakan puncak panen raya buah naga. Kondisi ini selalu berulang setiap tahun. Namun, tahun ini merupakan yang terparah.
“Setiap tahun harga buah naga selalu anjlok di bulan Januari hingga Maret. Tahun lalu harganya mencapai Rp 2.500 per kilogram, tetapi masih ada yang mencari. Sementara sekarang, harganya sudah Rp 2.000 per kilogram, tetapi tidak ada yang mencari,” keluhnya.
Permintaan yang masuk ke kebun Ainurrohman juga turun. Biasanya dalam sehari minimal ada permintaan buah naga sebanyak 4 ton. Namun sudah satu minggu ini tidak ada permintaan buah naga yang masuk ke kebunnya.
Hal senada dialami oleh Edi Purwanto (26) sesama petani buah naga di Banyuwangi. Untuk mensiasati agar tidak terlalu merugi, Edi memilih menahan panen sambil menunggu harga kembali normal.
“Seharusnya buah naga berumur 40 hari sudah siap dipanen. Tetapi karena harganya belum juga baik, ini sudah berumur 60 hari belum juga saya panen,” ujar Edi.
Seharusnya buah naga berumur 40 hari sudah siap dipanen. Tetapi karena harganya belum juga baik, ini sudah berumur 60 hari belum juga saya panen
Namun, cara tersebut justru membuat buah naga rusak dan tidak dapat dikonsumsi. Beberapa buah naga tampak berlubang dan buahnya kosong. Edi mengatakan, buah naga yang terlalu lama di pohon justru menjadi santapan burung, semut, belalang dan hama lainnya bahkan busuk di pohon.
Ia memilih hal itu dari pada harus memetik dan menjualnya ke pasar. Menurutnya, membiarkan buah tetap dipanen mengurangi biaya operasional petik. Ia justru akan rugi bila sudah memetik tetapi tidak ada pembeli yang mengambil buah naganya.
“Kebun saya seluas 1 ha seharusnya dapat menghasilkan 5.000 kg sekali panen (setiap 40 hari). Kalau dijual dengan harga minimal Rp 5.000, saya mendapat Rp 25 juta. Bila dikurangi dengan ongkos produksi untuk pupuk, obat, sewa lahan dan lainnya untung yang saya dapat sekitar Rp 10 juta,” ujar dia.
Edi lantas menunjukkan bila harga buah naga Rp 2.000 per kg maka ia hanya mendapat Rp 10 juta. Pendapat tersebut tentu tidak dapat menutup biaya produksinya.
Kepala Bidang Hortikultra dan Perkebunan Dinas Pertanian Banyuwangi Achmad Khoiri mengatakan, anjloknya harga buah naga dikarenakan kelebihan produksi di puncak panen raya. Ia memprediksi kondisi ini akan terjadi hingga Maret.
“Kami sudah menjawab keresahan petani melalui kerjasama dengan Kementerian Pertanian untuk mendatangkan tiga perusahaan yang akan membeli buah para petani. Buah tersebut akan dibeli dengan harga Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per kg. Harga ini lebih tinggi dari harga pasar,” ujarnya.
Untuk sementara, telah disepakati pembelian sebanyak 150 ton. Adapun tiga perusahaan yang membeli tersebut ialah, PT. Lumbung Mineral, PT. Aneka Pangan Bergizi dan CV. Luhur
Kelebihan produksi buah naga tidak dapat dilepaskan dari maraknya alih fungsi komoditas lahan. Setiap tahun jumlah kebun buah naga di Banyuwangi mengalami peningkatan.
Meluas
Data Dinas Pertanian Banyuwangi menyebut luasan lahan buah naga pada tahun 2013 sebesar 539 ha, jumlah tersebut meningkat pada 2014 menjadi 678,8 ha, 2015 menjadi 1.152,8 ha, 2016 menjadi 1.213,3 ha, 2017 menjadi 1.290 ha dan 2018 menjadi 1.322 ha.
Peningkatan luasan lahan diikuti dengan peningkatan produksi dari semula 12.936 ton pada 2013 menjadi 16.630,6 ton pada 2014. Sementara pada 2015 produksi meningkat menjadi 28.820 ton, 2016 menjadi 30.457 ton, 2017 menjadi 42.349 ton dan 2018 menjadi 44.140 ton.
Dalam suatu kesempatan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi Arief Setiawan menyebutkan, pada tahun 2015 pihaknya menemukan ada 16.000 ha lahan tanaman pangan yang beralih menjadi lahan tanaman hortikultura. Peralihan komoditas tersebut terjadi di lima kecamatan, yaitu Purwoharjo, Bangorejo, Tegaldlimo, Pesanggaran, dan Silir Agung.
Peralihan komoditas tersebut disinyalir terus terjadi. Hingga tahun 2018, Arief memprediksi ada 2.000 lahan pangan lainnya yang beralih menjadi lahan tanaman hortikultura. Lahan yang semula banyak ditanami padi kini ditanami jeruk dan buah naga
Upaya melindungi luas sawah dengan menyusun peraturan daerah juga ditempuh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kepala Dinas Pertanian Banyuwangi Arief Setiawan mengatakan, pihaknya berupaya untuk melindungi lahan-lahan pertanian dari alih fungsi.
”Dari total luas lahan pertanian 65.457 hektar (di Banyuwangi), 55.030 hektar di antaranya akan dilindungi dengan peraturan daerah. Hingga kini, program tersebut masih dalam proses program legislasi daerah (prolegda),” ujarnya.
Arief mengatakan, prolegda perlindungan sawah LP2B (lahan pertanian pangan berkelanjutan) ditargetkan selesai pada 2019. Hal itu karena ada beberapa pemetaan lokasi lahan sawah yang harus disempurnakan/diselesaikan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah daerah.
Lahan yang masuk dalam program LP2B nantinya hanya dipergunakan untuk pertanian tanaman pangan. Jika akan dilakukan alih komoditas, pemilik lahan harus mengantongi izin alih komoditas kepada Pemkab Banyuwangi.