Khartoum, Minggu – Polisi Sudan menembakkan gas airmata ke ratusan pengunjuk rasa yang berarak di depan gedung parlemen, Minggu (20/1/2019) di Omdurman. Unjuk rasa terjadi saat Presiden Sudan Omar al-Bashir menegaskan para pengunjuk rasa yang tewas dalam demonstrasi anti-pemeirntah tidak dibunuh oleh tentara.
Sebagaimana diketahui, unjuk rasa besar merebak di Sudan sejak 19 Desember 2018 lalu. Unjuk rasa dipicu melonjaknya harga roti yang kemudian berkembang menjadi aksi melawan pemerintahan Bashir. Hingga saat ini Bashir telah 30 tahun memerintah Sudan
Dalam unjuk rasa yang digelar hari Minggu itu massa yang sebelumnya berkumpul di beberapa titik di dalam kota. Mereka lalu bergabung dan berarak ke gedung parlemen. Mereka meneriakkan kebebasan! Perdamaian dan keadilan! Mereka hendak mengajukan memorandum kepada parlemen yang berisi desakan pengunduran diri Bashir.
"Beberapa pemrotes pingsan karena gas air mata, sementara beberapa lainnya terluka," kata seorang saksi mata dari Asosiasi Profesional Sudan (SPA).
Korban tewas
Unjuk rasa juga digelar di beberapa kota termasuk di kota Madani. Sejauh ini, menurut Amnesty International sedikitnya 40 orang – termasuk dua personil keamanan – tewas dalam unjuk rasa di Sudan.
Pada Jumat (18/1/2019) pekan lalu, unjuk rasa berkepanjangan di Sudan kembali menelan korban jiwa. Kelompok penyelenggara demo anti pemerintah, Jumat, mengatakan, tiga orang tewas dalam aksi yang terjadi sehari sebelumnya.
Kabar tentang korban tewas disampaikan komite dokter yang berada di ujung tombak aksi protes. Disebutkan, mereka mendapati seorang anak dan seorang dokter terbunuh di ibukota Khartoum. Juru bicara penyelenggara Mohamed al-Asbat mengatakan dari Paris bahwa ditemukan orang ketiga yang juga tewas.
Pejabat pemerintah Sudan tidak mengkonfirmasi kematian tiga orang tersebut, Amnesty International, pekan lalu menyatakan, sejak kekerasan merebak 24 Desember, tercatat lebih 40 orang tewas. Sedangkan pemerintah menyatakan, korban tewas akibat bentrokan dengan polisi berjumlah 24 orang.
Sudan didera aksi protes di jalan setelah pemerintah menaikkan harga roti. Protes kemudian berkembang menuntut Presiden Omar al-Bashir yang sudah memerintah selama tiga dekade, agar mundur. Bashir menuduh agen asing ada di balik aksi-aksi yang kini sudah memasuki minggu kelima. Bashir menyatakan, kerusuhan tidak akan mengubah pemerintah dan dia menantang oposisi agar berkompetisi meraih kekuasaan lewat pemilu.
Protes terakhir dilakukan warga menyusul kematian Moawia Othman, seorang pria berusia 60 tahun yang tewas ditembak polisi. Sekitar 2.000-3.000 orang berkumpul saat pemakaman pria tersebut.
“Dari hari ke hari, jumlah pemrotes meningkat. Hari ini kami berkumpul dalam jumlah ribuan, besok kami akan mencapai jutaan,”kata seorang resepsionis yang ikut dalam aksi protes. “Saya tiak akan berhenti sampai ada perubahan yang memberi saya hidup layak, pekerjaan, dan gaji yang pantas,”kata resepsionis ini.
Kalangan profesional juga sudah ikut bergabung dengan massa pemrotes. Mohammed Yousef dari asosiasi profesional mengatakan, pendemo siap untuk menekan keluhan dan tetap “sabar dan bijaksana”. “Rakyat Sudan dikenal terutama karena determinasi, kekerasan kepala, dan bermain panjang. Mereka tidak gampang panas, juga tidak gampang menyerah,”katanya.
Negara pimpinan Omar al-Bashir dilanda masalah ekonomi yang berat dengan inflasi yang berlipat serta kekurangan makanan dan obat-obatan. Pemerintah keras menumpas para pendemo. (AFP/REUTERS)