Tolak Pembukaan Kebun Sawit, Warga Kinipan Tanam Berbagai Tanaman Tradisional
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Berkat Arus, Ketua BPD Desa Kinipan, membawa beberapa jenis tanaman, diantaranya adalah tanaman obat di lokasi yang sudah dibuka perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (20/1/2019). Selain menanam tanaman mereka juga meratapi bekas rimba yang hilang digusur perkebunan sawit.
NANGA BULIK, KOMPAS – Warga Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah melawan alih fungsi lahan di hutannya dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti jengkol, durian, tanaman obat tradisional, dan tanaman bumbu masakan tradisional. Hal itu dilakukan dengan harapan hutan mereka bisa kembali.
Aksi itu dilakukan sejak Sabtu-Minggu (19-20/01/2019) di lokasi pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Lamandau, Kalteng. Tak hanya menanam tanaman, mereka juga meratapi dan menangis di lahan terbuka itu.
“Di sini saya mendapatkan banyak obat-obatan tradisional. Karena sebagian besar obat yang saya racik ya pakai tanaman hutan,” ungkap Hardias Sway (50) yang biasa dipanggil dukun kampung di Desa Kinipan, Lamandau, Kalteng.
Sway mengungkapkan, ia menjadi dukun kampung karena hanya dirinya yang paling banyak hafal tanaman obat dan jenis-jenisnya di desa itu. banyak warga meminta resep darinya dan ia mencarikan tanaman yang ia nilai cocok untuk menjadi obat.
Pada Minggu siang, Sway mengambil beberapa tanaman obat seperti akar kuning yang bisa menyembuhkan sakit pinggang, lalu tanaman yang disebut garu pancolak untuk sakit kepala. Ia membawanya dan berjalan selama dua jam lebih bersama belasan warga desa lainnya ke lokasi hutan yang sudah dibuka.
Belasan warga Desa Kinipan yang mengikuti aksi itu juga ikut mengambil beberapa tanaman di hutan yang mereka lewati. Beberapa ibu-ibu mengambil tanaman yang biasa mereka gunakan untuk masak seperti sangkuba yang menggantikan garam, beberapa bahkan membawa biji durian yang jatuh atau buah lainnya yang jatuh bekas dimakan kelelawar atau binatang lainnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Hardias Sway (50), warga Desa Kinipan, menunjukkan beberapa tanaman obat yang biasa ia racik untuk mengobati warga Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng Minggu (20/1/2019).
Dalam kesempatan itu, warga Desa Kinipan juga menyatakan sikap untuk menolak perkebunan sawit. Penolakan yang sudah dilakukan mereka sejak 2012 lalu saat perusahaan perkebunan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML), datang untuk sosialisasi.
“Tak hanya desa kami, desa lain pun sudah mengakui kalau wilayah yang dibuka merupakan wilayah kami Desa Kinipan, tetapi menurut pemerintah dan perusahaan itu wilayah Desa Karang Taba yang jaraknya sangat jauh dari sini, tidak masuk akal,” ungkap Ketua Komunitas Adat Kinipan Effendi Buhing saat dihubungi pada Senin (21/1/2019).
Effendi mengungkapkan, hutan yang dibuka merupakan wilayah kelola masyarakat adat yang sudah teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2016 lalu. Meskipun sudah dipetakan, pembukaan lahan terus terjadi karena hutan tersebut belum diakui pemerintah sebagai hutan adat.
Sebelumnya, PT SML membuka wilayah hutan di sekitar Kecamatan Lamandau dan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau seluas lebih kurang 1.242 hektar. Perusahaan tersebut sudah mengantongi izin dan mulai membuka lahan sejak 2015 dengan total areal inti seluas 9.435,22 hektar.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kayu yang sudah ditebang oleh perusahaan perkebunan sawit di lokasi yang diklaim Warga Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng sebagai wilayah kelola adat mereka, Minggu (20/1/2019). Di lokasi itu warga Kinipan kerap berburu dan meramu obat.
Saat Kompas datang ke kantor PT SML di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, tak ada satu pun pimpinan maupun staf PT SML yang mau menemui untuk memberikan keterangan. Namun saat dihubungi melalui pesan singkat, salah satu staf PT SML, Deni, mengungkapkan, kalau pihaknya sudah bekerja sesuai koridor aturan yang berlaku.
“Kalau persoalannya tata batas bukan lagi ranah kami, tetapi pemerintah daerah. Kami perusahaan sudah melakukan semua sesuai dengan aturan,” ungkap Deni.
Hal itu juga sudah dipertegas Haeruddin Tahir Executive Operation PT SML pada bulan Oktober tahun lalu di Nanga Bulik, Lamandau, pada pertemuan bersama masyarakat dan pemerintah. Saat itu, ia membantah membuka wilayah di Desa Kinipan.
Menurut Tahir, pihaknya belum membuka sampai ke wilayah Kinipan karena berdasarkan HGU, Kinipan tidak termasuk dalam areal inti perkebunan. Wilayah yang dibuka merupakan wilayah Desa Karang Taba.
PT SML memperoleh izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 19 Maret 2015 lalu. Izin pelepasan itu rinciannya, areal inti seluas 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.
Pada 13 April 2017, tambah Tahir, Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran kadastral atau pertanahan dan perusahaan mendapatkan 17.046 hektar dengan rincian, 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 9.435,22 hektar.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki menjelaskan persoalan tata batas masih dalam tahap penyelesaian antar Desa Kinipan dan Desa Karang Taba. “Saya juga masih mau pastikan ke pimpinan daerah di Kabupaten,” ungkapnya.