Panggung Terakhir Butet
Banyak gelar juara telah diraih oleh Liliyana Natsir. Deretan prestasi membuatnya akan dikenang sebagai pemain putri spesialis ganda terbaik yang dimiliki Indonesia.
Setelah berlatih sekitar 1,5 jam di Pelatnas Cipayung, Jakarta, 10 Januari 2019 siang, Liliyana ”Butet” Natsir (33) duduk di kursi di sisi lapangan. Ingatannya melayang ke masa lalu saat pebulu tangkis ganda campuran itu masih seusia dengan rekan-rekannya yang sedang berlatih.
”Kalau lihat mereka latihan, saya ingat waktu saya seusia mereka. Latihannya berat, ternyata saya bisa menjalani itu,” kata Butet. Di lapangan, para penerus Butet, seperti Praveen Jordan, Melati Daeva Oktavianti, Hafiz Faizal, dan Gloria Emanuelle Widjaja, berlatih di bawah asuhan Richard Mainaky.
Latihan yang dijalani Butet dan rekan-rekannya dilakukan untuk menghadapi rangkaian turnamen Masters sejak 8 Januari. Tontowi Ahmad dan kawan-kawan memulai penampilan di Malaysia Masters, 15-20 Januari, sementara Butet akan turun di Indonesia Masters, 22-27 Januari.
Turnamen yang digelar di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, ini akan menjadi panggung terakhir Butet yang bermain bulu tangkis sejak usia 9 tahun.
”Pasti sedih menghadapi ini, enggak mungkin saya bilang perasaan saya biasa-biasa aja. Tetapi, cepat atau lambat, waktunya untuk berada di luar bulu tangkis akan tiba. Akan ada saatnya untuk berhenti. Saya harus tegar,” kata Butet.
Rasa sedih juga dirasakan Tontowi ”Owi” Ahmad yang berpasangan dengan Butet sejak 2010. Namun, Owi berusaha menutupi perasaan itu dengan mengingat semua keberhasilan yang didapat bersama senior yang dipanggilnya Cik Butet itu. Duet Owi/Butet dua kali menjadi juara dunia, tiga kali beruntun juara All England, dengan puncak prestasi meraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
”Pada akhirnya kami harus mengakhiri meski, menurut saya, permainan Cik Butet masih bagus. Tetapi, mungkin dia sudah jenuh. Pasti banyak sedihnya, tetapi kami banyak berhasil juga,” kata Owi.
Usia yang telah 33 tahun, menurunnya motivasi, dan waktu panjang berada di dalam dunia bulu tangkis membuat Butet memutuskan untuk mengakhiri kariernya.
”Usia pasti berpengaruh pada penampilan, sekarang banyak pemain muda yang lebih cepat dan kuat. Motivasi sudah menurun karena ibaratnya saya sudah meraih semuanya, dan saya tak mau terus bermain jika tanpa motivasi.
Apalagi, waktu saya di bulu tangkis juga sudah cukup panjang. Saya ingin punya lebih banyak waktu untuk keluarga dan mengurus bisnis,” tutur Butet.
Memulai bisnis sekitar tiga tahun lalu, saat ini Butet memiliki tempat refleksologi dan menjadi pengembang dari empat perumahan di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Di sela perbincangan pada Kamis siang itu, Butet menunjukkan video tanah yang diinginkan jadi proyeknya yang kelima.
Butet, yang menjadi bagian dari Pelatnas Cipayung sejak 2002, juga ingin memberi kesempatan kepada pemain yang lebih muda untuk berkembang. PP PBSI memprioritaskan Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria untuk lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.
”Kalau saya masih bermain di sini, mungkin saja pemain lain akan tetap mengandalkan saya. Mereka bisa saja berpikir, ’Masih ada Cik Butet’. Padahal, sekarang sudah waktunya mereka yang memikul tanggung jawab, menjadi andalan,” katanya.
Butet memang selalu menjadi andalan ganda campuran Indonesia meski telah berusia 33 tahun. Dia tercatat sebagai pemain putri spesialis ganda terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini bahkan menjadi pemain ganda campuran dengan gelar juara dunia terbanyak. Kecerdikannya mengatur pola permainan di depan net telah mengantarkan Butet empat kali juara dunia, yaitu bersama Nova Widhianto pada 2005 dan 2007 serta bersama Owi (2013 dan 2017).
Owi/Butet bahkan menciptakan sejarah dengan mencetak hattrick juara All England pada 2012-2014. Gelar pada 2012 menjadi gelar pertama bagi ganda campuran Indonesia dalam 33 tahun setelah Christian Hadinata/Imelda Wigoeno pada 1979.
Hampir berhenti
Perjalanan menjadi salah satu pemain ganda campuran terbaik dunia diawali ketika dia ditawari bermain pada nomor tersebut oleh Richard seusai Pekan Olahraga Nasional (PON) Palembang 2004.
Meski kalah dari Nova/Vita Marissa (DKI Jakarta) pada perempat final ganda campuran, permainan Butet yang berpasangan dengan Ronne Rantulalu (Sulawesi Utara) menarik perhatian Richard. Butet dinilai berani.
Merasa tidak mampu bersaing pada ganda putri di tingkat internasional, Butet tak berpikir panjang untuk menerima tawaran itu. Dia bahkan sempat berpikir berhenti bermain bulu tangkis karena sulit menembus ganda putri terbaik dunia dari China dan Korea Selatan saat bermain bersama Eny Erlangga.
”Padahal, saya dan Nathalia Poluakan dapat emas ganda putri PON dan nama saya dimasukkan pelatih pelatnas pada dua nomor, ganda putri dan campuran. Tetapi, saya putuskan untuk memilih ganda campuran,” katanya.
Kemampuannya beradaptasi dengan Nova yang lebih senior, lalu dengan Owi yang belum punya prestasi saat dipasangkan dengannya, membuat Butet berhasil menaikkan pamor ganda campuran Indonesia. Pemain yang selalu bergaya tomboi ini juga memiliki karakter yang membawanya ke tangga kesuksesan.
Selama jadi atlet, dia selalu memiliki target, motivasi, hingga bisa selalu fokus untuk mencapai target tersebut. Butet tidak memungkiri motivasinya menurun setelah memenangi emas Olimpiade 2016.
Namun, ketika emas Asian Games, yang belum pernah didapatnya, dijadikan target berikutnya, Butet pun kembali fokus mempersiapkan diri. Perunggu akhirnya menjadi hasil maksimal Owi/Butet di Asian Games 2018, tetapi hasil itu tetap disyukuri.
Pekan ini, penggemar bulu tangkis Indonesia akan menyaksikan Butet di Istora dalam ajang Indonesia Masters. Ajang itu akan menjadi panggung terakhir salah satu legenda bulu tangkis Indonesia tersebut. Apa pun hasilnya, Indonesia berterima kasih kepadamu, Butet…. (YULIA SAPTHIANI)