Di tengah kondisi dunia yang saling terhubung seperti saat ini, hubungan resiprokal atau timbal balık kerap kali disyaratkan dalam relasi perekonomian. Satu sama lain saling diuntungkan. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, maka pihak yang merasa dirugikan itu akan mencari cara untuk mewujudkan relasi yang lebih setara. Tentu saja, dengan tetap menjaga hubungan baik antarnegara.
Hubungan ekonomi antarnegara tak hanya terdiri dari satu unsur, melainkan berbagai unsur. Faktor yang majemuk itu juga menjadi pertimbangan dalam berdiplomasi. Misalnya, terkait kebijakan pembebasan tarif bagi produk tertentu yang diekspor Indonesia ke Amerika Serikat atau dikenal sebagai generalized system of preferences (GSP).
Laman Usted States Trade Representative menyebutkan, GSP memberi kesempatan bagi banyak negara miskin di dunia untuk menggunakan perdagangan sebagai cara meningkatkan perekonomian dan menghapus kemiskinan. Kebijakan ini juga membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan nilai dan keragaman perdagangan dengan AS. Bagi perusahaan-perusahaan AS, GSP yang sudah ada sejak 1974 ini juga sebagai bentuk dukungan pemerintah AS untuk lebih kompetitif.
Penjelasan sederhananya, dengan meniadakan tarif impor bahan baku dan penolong dari negara-negara penerima kebijakan GSP, maka perusahaan-perusahaan di AS bisa memperoleh bahan baku atau penolong serta barang konsumsi dengan harga yang lebih murah. Produk yang dihasilkan dari bahan baku atau penolong itu bisa dijual dengan harga bersaing di pasar AS, bahkan bisa jadi di pasar luar AS. Hal yang sama berlaku pada barang konsumsi yang diimpor dari negara-negara penerima GSP, yang bisa dijual perusahaan pengimpor dari AS ke pasar AS dengan harga yang lebih kompetitif.
Bagi Indonesia, kebijakan GSP yang dihapus akan membuat produk Indonesia kekurangan, bahkan kehilangan, daya saing di pasar AS.
Bayangkan saja, seandainya barang konsumsi serta bahan baku dan penolong tersebut dikenai tarif impor, sehingga harganya menjadi lebih tinggi. Perusahaan pengimpor di AS akan kehilangan kesempatan menawarkan hasil produksi dengan harga yang lebih murah, serta sulit menjual barang di pasar AS dengan harga bersaing.
Bagi Indonesia, kebijakan GSP yang dihapus akan membuat produk Indonesia kekurangan, bahkan kehilangan, daya saing di pasar AS. Produk tersebut menjadi berharga lebih mahal. Yang dikhawatirkan, AS bisa saja mengalihkan impor barang-barang tersebut ke negara lain yang harganya lebih murah. Harga dari negara itu bisa lebih murah karena sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan AS, namun bisa juga lebih murah karena faktor penyusun harganya -antara lain upah buruh- lebih rendah.
Akan tetapi, mengalihkan sumber impor bukan perkara mudah. Perihal perhiasan emas, misalnya, perusahaan di AS yang sudah menjalin hubungan baik dengan perusahaan pembuat perhiasan di Indonesia akan kesulitan mengalihkan pembelian perhiasan ke negara lain. Sebab, hubungan bisnis yang sudah terjalin sekian lama membuat perusahaan Indonesia mengerti selera pasar di AS dengan baik.
Perusahaan AS yang membeli perhiasan emas dari Indonesia juga sudah meyakini kualitas, harga, dan desain yang disediakan perusahaan Indonesia. Mengalihkan impor dari negara lain membuat proses yang diawali dengan rasa saling percaya ini mesti dimulai dari awal, yang belum tentu akan berhasil baik.
Perusahaan di bidang tekstil dan produk tekstil serta sepatu yang mengimpor dari sejumlah perusahaan di Indonesia juga tak akan mudah untuk begitu saja mengalihkan impor ke negara lain. Pertimbangan harga memang penting, namun bukan satu-satunya. Ada hal lain yang mesti dipertimbangan, antara lain kualitas barang.
Langkah AS meninjau ulang kebijakan GSP tersebut karena neraca perdagangan yang defisit. Data di laman Kementerian Perdagangan menunjukkan, perdagangan RI-AS pada 2017 senilai 25,916 miliar dollar AS. Ekspor RI ke AS senilai 17,794 miliar dollar AS, lebih besar dari impor RI dari AS yang senilai 8,121 miliar dollar AS. Maka, perdagangan RI-AS memberikan surplus 9,672 miliar dollar AS bagi Indonesia. Dengan kata lain, AS defisit 9,672 miliar dollar AS dalam perdagangan dengan Indonesia.
Pada Januari-November 2018, nilai perdagangan RI-AS mencapai 26,337 miliar dollar AS dengan surplus 7,548 miliar dollar AS bagi Indonesia.
Indonesia berharap GSP tetap diberlakukan bagi Indonesia. Untuk itu, Indonesia mengupayakan berbagai cara untuk berdiplomasi, termasuk meminta pengusaha AS yang selama ini menjalin relasi dengan pengusaha RI agar menyuarakan nilai positif GSP dalam hubungan perdagangan. Cara lain, Indonesia berupaya meningkatkan impor bahan baku tertentu dari AS, misalnya kapas, yang hasil produksinya berupa tekstil dan produk tekstil, akan diekspor ke AS. Upaya lain, Indonesia tetap berkomitmen mengimpor bahan baku dari AS, yakni kedelai untuk tahu dan tempe, yang produknya dipasarkan di Indonesia.
Untuk sementara waktu, GSP masih bisa dinikmati Indonesia. Pada saat bersamaan, Indonesia diminta memenuhi sejumlah hal yang dimaknai sebagai bentuk resiprokal dalam perdagangan RI-AS.
Upaya masih terus dilakukan. Sebab, tak ada cara mudah dalam berdiplomasi dan bernegosiasi demi mencapai titik tengah dalam kepentingan bersama.