Kericuhan Tanah Abang Diduga Didalangi Preman
JAKARTA, KOMPAS — Penertiban pedagang kaki lima atau PKL di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum membuahkan hasil. Penertiban itu malah berujung pada kericuhan, dan diduga didalangi sekelompok preman.
Penertiban PKL dilaksanakan di area trotoar sepanjang Jalan Jatibaru Raya yang berada di bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM). Di area itu juga terdapat Stasiun Tanah Abang yang cukup sibuk.
Kepala Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho, Senin (21/1/2019) di Jakarta, menyampaikan, ada indikasi bahwa sejumlah PKL yang membandel dengan tetap berdagang di sepanjang trotoar di Jalan Jatibaru Raya itu dikoordinasi sekelompok preman.
Berdasarkan temuan Ombudsman, menurut Teguh, setiap PKL itu dimintai bayaran oleh sekelompok preman sebesar Rp 30.000 sampai Rp 50.000 per hari. Kelompok preman itu pun dilindungi organisasi masyarakat yang ada di kawasan Tanah Abang.
”Kami menilai sejumlah PKL itu dikoordinasi preman sehingga mereka pun merasa berani berjualan di trotoar. Apalagi, mereka (PKL) juga sudah membayarkan sejumlah uang kepada preman sehingga merasa aman berjualan di sana,” kata Teguh.
Berdasarkan temuan Ombudsman, menurut Teguh, mayoritas pedagang yang berjualan di trotoar tersebut merupakan PKL baru. Dia menduga kedatangan PKL baru itu merupakan buah kekecewaan preman karena pendapatannya berkurang sejak penertiban dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Turunnya penghasilan preman itu, menurut Teguh, disebabkan kepindahan sekitar 500 PKL dari trotoar Jalan Jatibaru Raya ke Jembatan Penyeberangan Multiguna dan Pasar Tanah Abang blok A. Sebelum kepindahan itu, setidaknya ada 650 pedagang menempati trotoar di Jalan Jatibaru Raya.
Teguh menambahkan, rata-rata uang yang diminta preman kepada PKL Rp 30.000-Rp 50.000 per hari. Preman-preman itu pun dilindungi organisasi masyarakat yang ada di kawasan Tanah Abang.
Tak hanya kedatangan PKL baru, sekitar 100 PKL masih merasa tidak terima karena tidak mendapatkan tempat berjualan di Jembatan Penyeberangan Multiguna. ”Kekecewaan PKL lama dan preman di Jalan Jatibaru Raya ini menimbulkan penolakan yang begitu keras saat penertiban,” kata Teguh.
Salah satu PKL yang baru dua hari ini berjualan pakaian di trotoar Jalan Jatibaru, R (19), mengatakan menyetorkan uang sekitar Rp 300.000 kepada sekelompok orang agar bisa berdagang di trotoar itu. Uang sebesar itu harus disetorkan setiap minggu.
Tak hanya itu, setiap hari R juga menyetorkan uang Rp 2.000 kepada kelompok tersebut. R enggan merinci identitas kelompok yang memintainya uang. Menurut dia, dengan membayarkan uang setoran itu membuat dia tak perlu merasa khawatir dirazia selama membuka lapaknya di trotoar Jalan Jatibaru. ”Saya tidak terlalu khawatir dengan razia. Selain itu, pemilik asli dagangan ini juga ada di dalam Pasar Tanah Abang,” kata R.
Menanggapi adanya indikasi peran sekelompok preman yang membuat PKL tetap membandel, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya tidak akan mengadakan pendekatan dengan preman. ”Preman tidak usah didekati. Aturannya di sini tidak ada premanisme,” ucapnya.
Selain itu, Anies menyatakan, penegakan ketertiban di Tanah Abang juga bergantung pada ketaatan pengelola pada aturan yang berlaku. Pengelola yang dimaksud Anies itu berada dalam posisi apapun dan dapat disebut apapun.
Menanggapi temuan Ombudsman, Anies berharap ada bukti-bukti yang menyertai laporan tersebut agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya laporan yang disertai bukti, menurut Anies, itu dapat dijadikan dasar bagi pihaknya untuk menindak ulah premanisme di Tanah Abang.
Anies berpendapat, strategi terbaik untuk penataan dan penertiban Tanah Abang adalah melakukan pendekatan profesionalisme. ”Pihak yang menertibkan harus ekstra sabar terhadap pihak yang ditertibkan. Sering kali, pihak yang ditertibkan jauh lebih galak daripada yang menertibkan,” katanya.
Penertiban yang berujung ricuh di kawasan Tanah Abang beberapa waktu yang lalu, menurut Anies, itu sebaiknya menjadi pelajaran untuk semua pihak agar lebih menaati hukum yang berlaku. Hal ini, lanjutnya, dapat menjadi contoh penegakan hukum di Jakarta.
Penertiban berlanjut
Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Megantara mengatakan, penolakan PKL yang berujung bentrok itu disebabkan faktor ekonomi. Menurut dia, Stasiun Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya dengan lalu lintas sekitar 300.000 orang per hari di sana merupakan magnet ekonomi yang menjadi salah satu sumber penghasilan pedagang.
Saat ini, 446 orang dari sekitar 650 PKL yang sebelumnya berjualan di Jalan Jatibaru Raya telah menempati Jembatan Penyeberangan Multiguna.
Untuk membersihkan trotoar di sepanjang Jalan Jatibaru Raya dari PKL, Bayu mengatakan, hingga saat ini, pihaknya terus melaksanakan penertiban di trotoar tersebut. Dalam sehari ada 3 sampai 4 kali penertiban dengan menerjunkan 60 personel dari satuan polisi pamong praja dan 15 personel dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Di sisi lain, Teguh menyoroti pentingnya pendataan yang ketat terhadap PKL yang berdagang di Tanah Abang. ”Pendataan itu dapat mengendalikan PKL baru yang terus bermunculan dan menempati trotoar untuk berjualan,” ujarnya. (JUD)