Industri Ponsel Berpeluang Isi Celah Dampak Perang Dagang
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berusaha mendorong peningkatan volume produksi telepon seluler dalam negeri. Efek perang dagang antara Amerika Serikat dan China dapat dimanfaatkan untuk menggenjot produksi ponsel.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian Janu Suryanto, Minggu (20/1/2019), di Jakarta, mengatakan, industri perakitan dan penyedia layanan manufaktur elektronik terus memproduksi ponsel pintar menyesuaikan kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Dia mengklaim, setiap tahunnya, volume produksi masih besar.
Mengutip laman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Kemenperin, total sertifikat TKDN peralatan telekomunikasi mencapai 699 dan sebanyak 412 sertifikat di antaranya masih berlaku. Peralatan telekomunikasi yang dimaksud mencakup antara lain ponsel pintar, sabak, dan perangkat penghala nirkabel (wireless router). Satu sertifikat dapat berisi lebih dari satu jenis produk.
Dari jumlah sertifikat itu, ada 73 produk kategori peralatan telekomunikasi memiliki kadar TKDN kurang dari 25 persen. Sebanyak 479 produk mengandung komponen dalam negeri 25-40 persen. Baru ada lima produk sarat kandungan komponen dalam negeri lebih dari 40 persen.
Pada awal Februari 2019, PT Sat Nusapersada Tbk akan mulai mengekspor perdana ke Amerika Serikat.
Pada 2015, volume produksi ponsel pintar dalam negeri mencapai 49,6 juta unit. Tahun berikutnya, volumenya meningkat menjadi 68,7 juta unit. Namun, pada tahun 2017 terjadi penurunan volume menjadi 60,8 juta unit.
Selama Januari-Juni 2018, volume produksi ponsel pintar dalam negeri sebanyak 33,8 juta unit. Kemenperin memperkirakan, sampai Desember 2018, jumlah produksi berada di kisaran 60-an juta unit atau sama dengan kondisi dua tahun terakhir.
Dugaan sementara adalah pasar ponsel pintar dalam negeri sedang stagnan. Model-model baru kurang menarik minat konsumen membeli.
Meski demikian, Janu mengungkapkan, pada awal Februari 2019, salah satu perusahaan penyedia layanan manufaktur elektronik lokal, yakni PT Sat Nusapersada Tbk, akan mulai mengekspor perdana ke Amerika Serikat. Perusahaan ini telah menerima kontrak dari Pegatron Corporation, perusahaan perakit produk gawai merek Apple.
Mengenai impor ponsel, Janu menyebutkan trennya menunjukkan penurunan sejak tahun 2015. Volume impor mencapai 37,1 juta unit pada 2015. Setahun berikutnya, volume menurun menjadi 18,5 juta unit.
Pada 2017, volume impor kembali turun menjadi 11,4 juta unit. Adapun selama Januari-Juni 2018 total volume mencapai 3,8 juta unit.
”Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, kami berusaha menekan peredaran ponsel pintar ilegal dari pasar gelap. Caranya dengan membangun sistem pelacakan dan verifikasi nomor identitas ponsel,” katanya.
Indonesia sebenarnya bisa menggali peluang positif perang dagang Amerika Serikat-China.
Garap peluang
Secara terpisah, Client Device Analyst International Data Corporation (IDC) Indonesia Risky Febrian mengatakan, pengiriman ponsel pintar dari vendor ke distributor pertama mencapai 8,6 juta unit pada triwulan III-2018. Jumlah ini menurun 9 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Salah satu faktor yang diduga jadi penyebab adalah depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar AS.
”Perang dagang Amerika Serikat-China menimbulkan dampak negatif yang terasa sampai ke industri ponsel pintar. Dari sisi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, misalnya. Ketika rupiah sempat beberapa kali terdepresiasi, volume pengiriman ponsel pintar turun karena vendor kan harus beli komponen menggunakan dollar AS,” ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya bisa menggali peluang positif perang dagang AS-China. Volume produksi ponsel pintar oleh industri manufaktur dalam negeri bisa digenjot naik.
Dia mencontohkan kasus Pegatron Corporation yang memindahkan produksi ponsel pintarnya khusus ekspor dari China ke Batam, Kepulauan Riau. Pegatron Corporation bekerja sama dengan PT Sat Nusapersada Tbk.
Pada Desember 2018, PT Sat Nusapersada Tbk dikabarkan akan membangun dua gedung pabrik baru di lahan seluas 2.712 meter persegi. Selain kapasitas ruang produksi dan penyimpanan mulai sesak, alasan pembangunan baru adalah mengantisipasi kemungkinan peningkatan produksi akibat perang dagang AS-China.
Risky mengungkapkan, temuan IDC Indonesia lainnya yaitu vendor ponsel pintar merek lokal mengurangi pasokan persediaan guna meminimalkan risiko kehilangan untung. Mereka juga terus mengeksplorasi cara pemasaran baru agar tetap bisa bersaing.