JAKARTA, KOMPAS — Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah menyatakan, nasib Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai anggota DPD berada di tangan senator asal DI Yogyakarta itu sendiri. Keanggotaan GKR Hemas akan diaktifkan kembali apabila permohonan maaf disampaikan di depan Sidang Paripurna. Melalui kuasa hukumnya, GKR Hemas bersikukuh tidak akan hadir dan mengakui kepemimpinan DPD saat ini.
Ketua Badan Kehormatan DPD (BK-DPD) Mervin Sadipun Komber pada Senin (21/1/2019) mengatakan, pihaknya mengimbau GKR Hemas agar segera melakukan permintaan BK-DPD untuk menyampaikan permohonan maaf di depan Sidang Paripurna dan melalui surat kabar lokal dan nasional.
Mervin mengatakan, pihaknya menunggu GKR Hemas menyampaikan kesediaan meminta maaf sebelum Rabu (23/1/2019) ketika BK-DPD menyelenggarakan rapat pleno. Ia mengatakan, apabila GKR Hemas bersedia, permintaan maaf GKR Hemas dapat disampaikan di Sidang Paripurna tanggal 14 Februari 2019 mendatang.
”Tetapi, kalau sampai tanggal itu Bu Hemas masih tetap pada pendiriannya, ya tidak bisa (tetap menjadi anggota DPD),” kata Mervin saat ditemui di kantornya di kompleks Parlemen di Jakarta.
Sebelumnya, BK-DPD telah memberikan kesempatan kepada anggota DPD yang mendapatkan sanksi pemberhentian sementara untuk menyampaikan permintaan maaf pada Sidang Paripurna yang digelar Jumat (18/1/2019) lalu.
Pada saat itu, anggota DPD lain yang mendapat sanksi serupa, Maimanah Umar, telah menyampaikan permintaan maafnya. Dengan demikian, Maimanah diaktifkan kembali statusnya menjadi anggota DPD. Sementara itu, pada kesempatan yang sama, GKR Hemas tidak hadir.
BK-DPD memberhentikan sementara GKR Hemas dengan alasan tingkat kehadiran yang rendah. Sebaliknya, GKR Hemas mengatakan, alasannya untuk tidak hadir adalah tidak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta dan jajarannya sebagai pimpinan DPD.
Akar persoalannya adalah di kepemimpinan DPD 2017-2019 yang menurut kami tidak sah.
Mervin menolak tuduhan keputusan BK-DPD untuk memberhentikan sementara GKR Hemas adalah bermotif politik. ”Kedua persoalan ini merupakan dua hal yang berbeda,” kata Mervin.
Di sisi lain, GKR Hemas diyakini tidak akan menghadiri sidang dan rapat DPD. Dihubungi secara terpisah, kuasa hukum GKR Hemas, Irmanputra Sidin, mengungkapkan bahwa kliennya akan fokus pada proses hukum sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi.
”Akar persoalannya adalah di kepemimpinan DPD 2017-2019 yang menurut kami tidak sah. Makanya, Bu Ratu tidak mengakui rapat-rapat yang dikoordinasikan pimpinan DPD itu,” kata Irmanputra.
Sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) diajukan GKR Hemas dan kuasa hukumnya pada awal Januari 2019 ke MK. Sengketa ini diajukan dalam rangka mendapatkan kepastian hukum mengenai kepemimpinan DPD yang sah. GKR Hemas menilai kepemimpinan OSO, panggilan Oesman Sapta, yang menggulingkan jajaran GKR Hemas, tidaklah sah.
Sementara itu, menurut ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, keputusan BK-DPD untuk memberhentikan sementara GKR Hemas tidak sah dan cacat secara administrasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPRD, dan DPD) Pasal 313, ada dua hal yang dapat menjadi dasar pemberhentian sementara seorang anggota DPD.
Pertama, menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. Kedua, menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. ”Karena itu, tidak ada dasar untuk memberlakukan pemberhentian sementara,” kata Feri.
Ditemui seusai Sidang Paripurna pada Jumat lalu, Ketua DPD Oesman Sapta mengatakan, pihaknya tidak mencampuri urusan BK-DPD terkait pemberian sanksi pemberhentian sementara bagi GKR Hemas.