”Kamtib, kamtib, kamtib.” Seorang pria kurus paruh baya berkata pelan kepada para pedagang di Jalan Jatibaru Raya. Alex (30), sebagaimana pedagang lainnya, bergegas menggulung dagangannya dengan alas terpal seadanya. Tak sampai sepuluh detik, dagangan itu lenyap dari pandangan tim penindak satuan polisi pamong praja yang lewat.
”Alun tajua penglaris lai, alah tibo pulo inyo (Belum ada barang yang laris, sudah datang pula dia/satpol PP),” kata Alex, pedagang sisir, menggerutu, Minggu (20/1/2019) siang.
Alex baru 30 menit menggelar lapaknya di trotoar Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia sengaja menggelar dagangan siang hari supaya tidak terlalu sering diuber petugas satpol PP.
Dalam sehari, petugas penindak dari satpol PP atau sering disebut keamanan dan ketertiban (kamtib) bisa menertibkan PKL lima sampai enam kali sehari. Biasanya, pengawasan pada siang hari, apalagi akhir pekan, lebih longgar daripada pagi dan hari biasa.
Namun, siang itu Alex agak ”sial” meskipun tidak ada barangnya yang disita. Situasi tak sesuai perkiraannya. Dia terlalu cepat bertemu aparat, sedangkan barang dagangannya belum ada yang terjual. Hingga pukul 13.30, tim penindak sudah datang tiga kali.
Alex dan pedagang kaki lima (PKL) lain tak berlama-lama dengan ”kesialan” mereka. Para pedagang bergegas mengeluarkan dagangan yang ditumpangkan di kios sekitar trotoar. Belum hilang jejak kaki petugas di trotoar, para pedagang telah kembali ke posisi semula.
Pemandangan ini tak beda jauh dengan saat penindakan-penindakan sebelumnya. Bahkan, setelah insiden penyerangan terhadap anggota satpol PP oleh PKL dan warga sekitar yang menolak ditertibkan dan berujung pada penahanan dua tersangka, kondisi tak berubah.
Beradu cepat dengan petugas satpol PP juga dilakoni Budi (39), PKL lainnya. Mata dan telinga pedagang pakaian wanita ini selalu awas dalam melihat seragam dan mendengar kata ”kamtib”. Jika tim penindak itu datang, dia bergegas menyembunyikan dagangannya.
Kondisi begitu sudah dialami Budi sejak pertengahan Desember 2018 ketika sebagian PKL direlokasi ke Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang. Bahkan, seminggu terakhir, penindakan oleh petugas satpol PP semakin ketat seiring dengan rencana peresmian JPM.
”Untung saja sekarang Minggu, jadi tidak terlalu ketat, cuma disuruh minggir. Biasanya, kalau kelihatan, barang-barang langsung diambil kamtib meskipun sudah disembunyikan,” kata Budi.
Mata pencarian
Meskipun sudah terbiasa, situasi seperti ini sebenarnya tidak diharapkan Budi. Dia ingin bisa berjualan dengan tenang tanpa diburu petugas satpol PP. Namun, apa daya, dia tidak punya tempat untuk berdagang sebagaimana pedagang lain di JPM. Sementara itu, untuk menyewa kios JPM dari warga Jatibaru mahal, Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan.
Hal senada diungkapkan Dewi (35), pedagang kaus di trotoar Jalan Jatibaru Raya. Jantungnya selalu berdegup kencang setiap anggota satpol PP datang untuk menertibkan PKL. Fisiknya juga lelah ketika harus mengangkat dagangan untuk menyembunyikannya dari aparat. ”Tetapi, bagaimana lagi. Lebih baik dikejar-kejar kamtib daripada tidak bisa makan sama sekali,” kata Dewi.
Dewi sebenarnya mau saja ditertibkan asalkan ada solusi yang masuk akal dari pemerintah. Selama ini, dia merasa tindakan aparat hanya mengusir tanpa memberinya jalan keluar bagi kelangsungan hidupnya.
Kepala Seksi Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penindakan Satpol PP Jakarta Pusat Santoso mengatakan, pihaknya tidak akan berhenti menertibkan PKL.
Keberadaan PKL di trotoar melanggar Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Pasal 25 Ayat (2). Inti dari ayat itu, setiap orang atau badan tidak diperkenankan berdagang di bagian jalan atau trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang, dan tempat umum lainnya tanpa persetujuan gubernur.
Santoso mengakui, memang butuh waktu untuk menertibkan PKL. Dia pun percaya, penertiban secara terus-menerus akan mengubah perilaku dan menimbulkan kesadaran pedagang. ”Trotoar adalah tempat untuk berjalan kaki, bukan berdagang,” ujarnya.
Tidak ada yang punya jawaban pasti kapan persoalan penataan PKL ini akan mencapai episode akhir. Yang pasti, selama tidak ada jalan keluar untuk menjaga periuk nasi para pedagang kecil ini, episode kucing-kucingan antara PKL dan petugas satpol PP akan terus bersambung. (YOLA SASTRA)