Cegah Gula Rafinasi Bocor, Pemerintah Dituntut Punya Data Valid
JAKARTA, KOMPAS – Merembesnya gula kristal rafinasi ke pasar konsumsi, membuktikan impor gula melebihi kebutuhan industri. Persoalan ini disebabkan oleh ketidakpastian data akan kebutuhan sesungguhnya dari industri makanan dan minuman.
"Masalahnya adalah, berapa data kebutuhan gula kristal rafinasi kita sebenarnya. Kelebihan impor selama ini menunjukkan adanya permasalahan data," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Sepanjang 2018, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) mencatat 98,7 ton gula kristal rafinasi merembes ke pasar umum. Dari hasil temuan, pelaku terdiri dari dua industri makanan dan minuman (mamin) di Karawang dan Bantul serta tiga distributor di Karawang, Jakarta, dan Bandung. Jumlah ini dipastikan bertambah karena masih ada pelaku usaha yang sedang dalam pemeriksaan. (Kompas, 19 Januari 2019)
Selain itu, Ditjen PKTN juga menemukan adanya penjualan gula kristal rafinasi melalui situs perdagangan elektronik atau e-dagang. Namun, untuk jumlah pelaku, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggriono Sutiarto menyatakan masih dalam penyelidikan.
Baca juga: Penjualan Gula Rafinasi Lewat E-Dagang Diselidiki
Hingga saat ini, ada satu kasus penjualan gula kristal rafinasi melalui e-dagang yang tengah diusut oleh kepolisian. Penjualan gula kristal rafinasi dilakukan atas nama Asep melalui situs Tokopedia. Lokasi penjualan beralamat di Jalan Asem Cikande kilometer 62,5 Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Banten, Komisaris Besar Polisi Abdul Karim menyampaikan, pihaknya akan mengusut tuntas kasus ini. "Kasus ini menjadi contoh bagaimana penjualan gula rafinasi semakin marak dilakukan, maka perlu pengawasan dan kontrol yang lebih ketat,” ujarnya.
Baca juga: Polisi Dalami Penjualan Gula Rafinasi di Situs E-Dagang
Menanggapi persoalan ini, Ahmad menyampaikan, maka yang pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah memetakan kapasitas produksi akan kebutuhan gula kristal rafinasi setiap industri makanan dan minuman. Sehingga, importir yang juga merupakan pabrik gula kristal rafinasi dapat memesan sesuai kebutuhan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2013 hingga 2017, impor gula mentah meningkat sebanyak 7,91 persen. Selain itu, impor gula mentah dari Januari hingga November 2018 mencapai 2,96 juta ton dari alokasi impor yang mencapai 3,6 juta ton hingga akhir tahun 2018.
"Selain itu, yang perlu dipastikan lagi adalah persoalan izin dan kontrak antara pabrik gula kristal rafinasi dengan industri mamin. Apakah benar industri mamin tersebut memproduksi makanan dan minuman? Serta, apakah benar kebutuhan gula kristal rafinasi sesuai dengan kapasitas produksinya?," ujar Ahmad.
Baca juga: Tahun Politik, Kebutuhan Gula Rafinasi Naik
Sebab, dari hasil penyelidikan Ditjen PKTN, pelaku usaha yang merembeskan gula kristal rafinasi ke pasar umum adalah industri mamin. Namun, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman memastikan, industri mamin yang melanggar bukan anggota Gapmmi.
Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) mencatat 98,7 ton gula kristal rafinasi merembes ke pasar konsumsi selama 2018
Dalam temuan Ditjen PKTN, kelebihan impor gula kristal rafinasi merembes melalui ke pasar umum serta melalui situs e-dagang. Namun, berdasarkan pantauan Kompas melalui media sosial, ada penjualan lewat Instagram yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.
Baca juga: Impor Gula Tak Sebanding Pertumbuhan Industri
Ketika mengetikkan #gularafinasi, muncul berbagai perusahaan yang menjajakan gula kristal rafinasi dan siapa pun pengguna Instagram dapat membelinya secara mudah. Seharusnya, gula kristal rafinasi tidak boleh diperjualbelikan secara bebas.
Ketentuaan mengenai peredaran gula kristal rafinasi ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi (GKR). Dalam pasal 3 dikatakan, GKR hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran.
Selain itu, dalam Pasal 11 ayat 2 juga dikatakan, industri pengguna dilarang menjual GKR yang didistribusikan oleh produsen GKR. Apabila melanggar, maka dalam Pasal 20 dikatakan, industri pengguna akan dikenakan sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Baca juga: Gula Rafinasi Bocor, Gula Petani Tidak Terserap
Menanggapi persoalan ini, Ahmad mengatakan, setiap industri mamin harus menginduk ke asosiasi agar terpantau. Dengan menginduk, persoalan izin menjadi jelas, mengenai apa yang diproduksi, berapa kapasitas dan kebutuhan produksi, hingga ke struktur produksi terkait bagaimana dan bahan baku apa saja yang digunakan.
"Sehingga pemerintah pun memiliki data yang jelas dari kebutuhan industri mamin. Jangan sampai, ada laporan kebutuhan gula kristal rafinasi meningkat, namun bahan baku lainnya tidak. Kalau seperti ini, jelas rembesan gula kristal rafinasi akan terus terjadi," ujar Ahmad.
Perbaiki sistem lelang
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia, Soemitro Samadikoen menyampaikan, sistem lelang gula kristal rafinasi yang sempat diuji coba oleh Kementerian Perdagangan selama tujuh bulan hingga April 2018, seharusnya disempurnakan, bukan ditolak mentah-mentah.
Baca juga: Tindakan Tegas Pemerintah Dinantikan
"Sebab, melalui lelang gula kristal rafinasi, perdagangan gula menjadi lebih transparan. Proses perdagangan gula dapat ditelusuri ke mana dijual dan diketahui jumlah produksi serta kebutuhan, baik kebutuhan industri kecil maupun menengah. Selama ini, industri kecil dan menengah sulit memperoleh gula kristal rafinasi dengan harga lebih murah," kata Soemitro.
Sayangnya, ketentuan yang mengatur lelang gula kristal rafinasi itu sudah dicabut oleh Menteri Perdagangan atas dasar rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada April 2018. Ketentuan tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar Lelang Komoditas. (Kompas, 21 April 2018)
Soemitro mengatakan, seharusnya, kebijakan lelang dievaluasi lebih mendalam. Jika ada kelemahan dalam regulasi, maka regulasi harus diperbaiki dan diperkuat. "Sistem lelang memang membutuhkan biaya tambah, namun jika benar diterapkan, sistem ini dapat mencegah gula kristal rafinasi merembes ke pasar," ujarnya.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyampaikan hal senada. Menurutnya, lelang merupakan salah satu pendekatan untuk menghitung jumlah kebutuhan gula kristal rafinasi, sehingga menghindari rembesan ke pasar.
Menurut Khudori, rembesnya gula rafinasi merupakan buah dari ketiadaan data yang valid terhadap kebutuhan industri mamin maupun pabrik gula rafinasi. "Persoalan ini memang tidak mudah diselesaikan. Ditambah lagi, saat ini bentuk dan warna dari gula kristal rafinasi dan gula konsumsi semakin mirip, sehingga secara kasat mata sulit dibedakan," ujar Khudori.
Lebih lanjut, Khudori menyampaikan, persoalan lain adalah inefisiensi biaya produksi gula konsumsi oleh pabrik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Biaya produksi dapat mencapai Rp 10.500 per kilogram (per kg), namun yang dibayarkan ke petani tak lebih dari Rp 9.000 per kg. Sementara pabrik gula konsumsi milik swasta, biaya produksi berkisar Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per kg.
"Dalam keadaan demikian, penerapan Harga Eceran Tertinggi, yaitu Rp 12.500, hanya berpihak sebagai dalih untuk melindungi konsumen, tapi kenyataannya menekan petani. Hal ini terjadi setidaknya sejak tiga tahun terakhir pada 2016," ujar Khudori.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani tebu juga terlihat dari keberadaan pabrik gula kristal rafinasi yang posisinya lebih dekat dengan pelabuhan dibandingkan ladang tebu. "Mereka itu panennya di pelabuhan (impor), bukan di ladang," ujar Khudori.
Keadaan ini juga semakin menyudutkan para petani. Maka, menurut Khudori, revitalisasi pabrik gula BUMN perlu segera dilakukan, agar kapasitas produksi meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan, kualitas gula yang dihasilkan semakin baik, dan biaya produksi menjadi efisien sehingga dapat bersaing di pasaran. (SHARON PATRICIA)