JAKARTA, KOMPAS — Peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS merasa terbebani apabila harus membayar biaya tambahan karena ada ketentuan urun biaya dan selisih biaya. Mereka beranggapan, setiap bulan telah membayar iuran yang telah ditentukan.
Urun biaya akan dikenakan untuk jenis layanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Namun, saat ini belum ditentukan jenis layanan yang dikenai urun biaya karena masih dalam tahap pengkajian. Sebelumnya, peserta tidak dikenai biaya tambahan apa pun untuk seluruh layanan.
Besarnya urun biaya yang dikenakan kepada pasien rawat jalan Rp 20.000 setiap kunjungan ke rumah sakit kelas A dan B. Untuk kunjungan ke rumah sakit kelas C dan D, pasien dikenai urun biaya sebesar Rp 10.000.
Jumlah urun biaya maksimal Rp 350.000 untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam tiga bulan. Untuk rawat inap, besaran urun biaya 10 persen dari biaya pelayanan yang dihitung dari total tarif INA CBG’s (Indonesia Case Base Groups) atau model pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah sakit. Besaran paling tinggi urun biaya untuk rawat inap adalah Rp 30 juta.
Adapun selisih biaya dikenakan kepada peserta JKN yang naik kelas pada saat rawat inap ataupun rawat jalan di poliklinik eksekutif. Selisih biaya pada saat naik kelas tidak berlaku untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta JKN yang iurannya dibayar pemerintah daerah, serta pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Naik kelas atas permintaan sendiri hanya boleh 1 kelas di atas hak peserta JKN.
Jono (62), warga Rawamangun, Jakarta Timur, mengatakan, dirinya sudah terbebani dengan iuran yang harus dibayar tiap bulan. ”Sejak awal, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan telah berjanji akan membayar seluruh layanan,” kata Jono, Sabtu (19/1/2019).
Sebagai wiraswasta yang berpenghasilan tidak tetap, ia kesulitan membayar iuran tiap bulan. Saat ini, peserta JKN-KIS kelas 1 tersebut sudah menunggak pembayaran iuran hingga 4 bulan. Ia berharap dapat turun kelas agar beban iurannya lebih kecil.
Deputi Direktur Advokasi Jamkeswatch Heri Irawan mengatakan, dengan adanya sistem JKN, seharusnya mampu meminimalkan adanya kemungkinan naik kelas perawatan dan timbulnya urun biaya dari peserta. ”Ini membebani peserta karena setiap bulan mereka sudah membayar iuran,” kata Heri.
Menurut Heri, kebijakan urun biaya dapat menjadi celah bagi oknum tertentu untuk mengarahkan peserta JKN ke layanan yang lebih mahal. Celah urun biaya ini berpotensi menjebak dan menambah beban peserta ketika membutuhkan perawatan yang seharusnya tidak perlu dan peserta tidak mengetahuinya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, ketentuan urun biaya dan selisih biaya muncul seiring adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018.
Menurut Timboel, hadirnya permenkes ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dan BPJS Kesehatan mengendalikan biaya INA CBGs. Pasal 9 Ayat 5 menyatakan, BPJS Kesehatan membayarkan besaran klaim pelayanan kepada rumah sakit sebesar biaya pelayanan yang diberikan rumah sakit dikurangi besaran urun biaya yang dibayarkan peserta JKN. ”Jadi, permenkes ini memang diabdikan untuk mengurangi defisit,” ujarnya.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, ketentuan ini dibuat tidak semata-mata untuk mengurangi defisit. Namun, ketentuan ini dibuat untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan Program JKN-KIS.