Ketentuan Penambahan Biaya Dipandang Terlambat Dikeluarkan
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan baru terkait biaya tambahan yang harus dibayar peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS melalui urun biaya dan selisih biaya, itu dipandang terlambat. Ketentuan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 itu pun dianggap membebani peserta.
Ketua Gerakan Moral Dokter Indonesia Bersatu sekaligus anggota Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Agung Sapta Adi mengatakan, ketentuan itu terlambat diterbitkan. “Ketentuan itu seharusnya diterbitkan ketika program JKN diluncurkan pertama kali,” kata Agung saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (19/1/2019).
Menurut Agung, saat ini pemerintah terdesak mencari biaya untuk mengurangi defisit. Padahal, apabila ketentuan tersebut diterbitkan sejak awal dengan aturan yang jelas, maka pemerintah tidak akan mengalami defisit yang besar.
Selain membuat aturan-aturan, pemerintah juga perlu menyamakan persepsi mengenai urun biaya dan selisih biaya. Agung mengatakan, urun biaya dan selisih biaya adalah istilah umum dalam asuransi kesehatan. “Dalam JKN, perlu berhati-hati menggunakan istilah ini (urun biaya dan selisih biaya), karena yang paling penting dalam JKN adalah dipenuhinya layanan standar kedokteran,” tuturnya.
Menurut Agung, pada umumnya selisih biaya bisa timbul karena perbedaan antara pertanggungan. Termasuk di dalamnya layanan standar kedokteran dan biaya perawatan karena naik kelas perawatan. Sebaliknya dalam JKN, dengan sistem INA CBG’s (Indonesia Case Base Groups) yang nilainya di bawah harga keekonomian membuat layanan standar kedokteran menjadi sulit tercapai.
Sebelumnya diberitakan, urun biaya akan dikenakan untuk jenis layanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Namun, saat ini belum ditentukan jenis layanan yang dikenai urun biaya karena masih dalam tahap pengkajian. Sebelumnya, peserta tidak dikenai biaya tambahan apa pun untuk seluruh layanan.
Dengan adanya ketentuan baru ini, pasien rawat jalan akan dikenakan urun biaya sebesar Rp 20.000 untuk setiap kunjungan ke rumah sakit Kelas A dan B. Untuk kunjungan ke rumah sakit kelas C dan D, pasien dikenai urun biaya sebesar Rp 10.000. Jumlah urun biaya maksimal Rp 350.000 untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam tiga bulan.
Untuk rawat inap, besaran urun biaya 10 persen dari biaya pelayanan yang dihitung dari total tarif INA CBG’s atau model pembayaran yang digunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah sakit. Besaran paling tinggi urun biaya untuk rawat inap adalah Rp 30 juta.
Sementara selisih biaya dikenakan kepada peserta JKN yang berobat di poliklinik eksekutif jika ia meminta kelas pelayanan rawat inap dan rawat jalan untuknya dinaikkan. Naik kelas atas permintaan sendiri hanya boleh satu kelas di atas hak peserta JKN.
Selisih biaya pada saat naik kelas tidak berlaku untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta JKN yang iurannya dibayar pemerintah daerah, serta pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Peserta Terbebani
Sebagian peserta JKN mengaku terbebani apabila diberlakukan biaya tambahan saat berobat. Jono (62), warga Rawamangun, Jakarta Timur, mengatakan, dirinya sudah terbebani dengan iuran yang harus dibayar tiap bulan. ”Sejak awal kan BPJS Kesehatan telah berjanji akan membayar seluruh layanan,” kata Jono.
Sebagai wiraswasta yang berpenghasilan tidak tetap, ia kesulitan membayar iuran tiap bulan. Saat ini, peserta JKN-KIS kelas 1 tersebut sudah menunggak pembayaran iuran hingga 4 bulan. Ia berharap dapat turun kelas agar beban iurannya lebih kecil.
Deputi Direktur Advokasi Jamkeswatch Heri Irawan mengatakan, dengan adanya sistem JKN, seharusnya mampu meminimalkan adanya kemungkinan naik kelas perawatan dan timbulnya urun biaya dari peserta. ”Ini membebani peserta karena setiap bulan mereka sudah membayar iuran,” kata Heri.
Menurut Heri, kebijakan urun biaya dapat menjadi celah bagi oknum tertentu untuk mengarahkan peserta JKN ke layanan yang lebih mahal. Celah urun biaya ini berpotensi menjebak dan menambah beban peserta ketika membutuhkan perawatan yang seharusnya tidak perlu dan peserta tidak mengetahuinya.
Sebaliknya, Agung menganggap bahwa tuduhan penyalahgunaan oleh penyedia pelayanan harus ada dasarnya. “Sejak awal, keterbatasan yang ada pada program JKN menyebabkan fasilitas kesehatan (faskes) harus mengeluarkan upaya yang besar untuk mencapai standar pelayanan,” ujarnya.
Mengendalikan
Sementara Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, hadirnya Permenkes 51 Tahun 2018 yang di dalamnya turut mengatur adanya urun biaya, itu merupakan bagian dari upaya pemerintah dan BPJS Kesehatan mengendalikan klaim biaya INA CBGs.
Seperti disebutkan Pasal 9 Ayat 5 di dalam permeskes itu, bahwa BPJS Kesehatan membayarkan besaran klaim pelayanan kepada rumah sakit sebesar biaya pelayanan yang diberikan rumah sakit dikurangi besaran urun biaya yang dibayarkan peserta JKN. ”Jadi, permenkes ini memang diabdikan untuk mengurangi defisit,” ujarnya.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, ketentuan ini dibuat tidak semata-mata untuk mengurangi defisit. Namun, ketentuan ini dibuat untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan Program JKN-KIS.