Inggris Terjebak Kebuntuan
Setelah parlemen menolak kesepakatan Brexit dengan telak dan setelah PM Theresa May lolos dari mosi tidak percaya dengan selisih tipis, masa depan Inggris masih terjebak dalam kebuntuan.
Bukan hal yang mengejutkan bahwa kesepakatan Brexit yang diusulkan Perdana Menteri Inggris Theresa May ditolak oleh Majelis Rendah Parlemen Inggris. Yang mengejutkan adalah masifnya penolakan itu. Dari 650 anggota parlemen, 432 menolak dan 202 mendukung. Ini berarti, dua per tiga anggota parlemen menolak kesepakatan itu, di antaranya lebih dari 100 anggota parlemen dari Partai Konservatif yang dipimpin May.
Masifnya suara penolakan parlemen menunjukkan bahwa kesepakatan Brexit yang ditandatangani oleh PM May dan Uni Eropa (UE) bisa dianggap "berakhir". Kesepakatan setebal 580 halaman yang dinegosiasikan selama dua tahun dan ditandatangani, November lalu, tidak bisa diubah lagi. UE sudah berulang kali menegaskan, kesepakatan Brexit itu merupakan satu-satunya kesepakatan yang ada, tidak bisa dinegosiasikan atau dibuka kembali. Bagi UE, seluruh perundingan telah selesai dan tuntas.
Penolakan parlemen juga menandakan bahwa proses Brexit untuk selanjutnya akan "disetir" oleh parlemen. Parlemen telah memerintahkan May untuk membawa rencana alternatif pemerintah pada Senin, 21 Januari. May sedikit bisa bernafas lega karena, Kamis (17/1/2019), ia lolos dari mosi tak percaya di parlemen dengan angka tipis 325-306 suara.
Jika saja gerakan itu berhasil, May akan dipaksa melaksanakan percepatan pemilu. Namun, menghadapi manuver ini, Partai Konservatif yang memiliki 317 suara dan koalisinya, Partai Unionis Demokratik (DUP) yang memiliki 10 kursi, solid mendukung May. Mereka tak ingin membuka peluang pemimpin oposisi Partai Buruh Jeremy Corbyn, yang menginginkan pemilu dipercepat, menjadi perdana menteri.
Di masa lalu, kekalahan yang dialami May akan membawa konsekuensi PM yang bersangkutan langsung mundur, dan pemilu segera dilaksanakan. Namun, situasi Inggris saat ini memang "tidak biasa", karena hanya dalam waktu kurang dari 10 pekan, Inggris harus keluar dari UE pada 29 Maret 2019. Dengan demikian, terbuka kemungkinan May meminta perpanjangan tenggat pada UE.
UE telah memberikan lampu hijau untuk perpanjangan tenggat Brexit pada 29 Maret 2019 asalkan alasannya "masuk akal".
UE telah memberikan lampu hijau untuk perpanjangan tenggat itu asalkan alasannya "masuk akal", misalnya pemerintah Inggris perlu tambahan waktu untuk menyelenggarakan pemungutan suara publik seperti referendum. Persoalannya, UE akan melaksanakan pemilu legislatif pada Mei mendatang di mana Inggris sudah tidak dilibatkan lagi (diasumsikan Brexit telah terjadi). Oleh karenanya, kalaupun perpanjangan tenggat diberikan, waktunya tidak akan melebihi Juni.
Juru runding Brexit untuk UE, Michel Barnier, mengisyaratkan bahwa sikap Brussels bisa "melunak" asalkan Inggris mengubah "garis merah"-nya (hal-hal yang menjadi keharusan). Salah satu garis merah Inggris adalah, tak ada lagi kebebasan pergerakan barang dan orang bagi warga UE di Inggris. Bagi UE, itu merupakan persyaratan mendasar jika Inggris ingin masuk dalam bea cukai bersama Eropa (custom union) dan pasar tunggal Eropa.
Telat merangkul
Waktu dua tahun untuk menegosiasikan kesepakatan Brexit sebetulnya bukanlah pendek bagi May untuk membaca peta politik di partainya maupun di kubu oposisi. Namun, rasa percaya diri yang terlalu tinggi kerap membuatnya salah langkah.
Kesalahan pertama terjadi sewaktu ia melaksanakan percepatan pemilu pada Juni 2017. Alih-alih memperoleh kursi yang lebih besar di parlemen, Partai Konservatif malah kehilangan mayoritas dan perlu dukungan partai kanan Irlandia Utara, DUP, untuk meraih mayoritas terbatas di parlemen.
Rasa percaya diri yang terlalu tinggi kerap membuat PM Theresa May salah langkah.
May telah lama melihat gelagat pembangkangan di tubuh partainya yang dikomando Boris Johnson dan kawan-kawan yang menginginkan hard Brexit (putus hubungan total dengan Uni Eropa). May menghabiskan begitu banyak energi dan konsesi untuk melunakkan kubu ini, namun dia melupakan kubu yang seharusnya bisa dirangkul, yaitu oposisi Partai Buruh.
Meskipun mayoritas anggota parlemen Buruh pro Eropa, mereka bertekad untuk berkomitmen terhadap mandat referendum 2016. Setidaknya, May bisa menarik Buruh untuk mendukung soft Brexit. Strategi serupa juga bisa ia terapkan pada Partai Nasionalis Skotlandia yang menginginkan Inggris tetap dekat dengan Eropa.
Menurut The Guardian (10/1/2019), dalam kongres Partai Buruh di Liverpool, Oktober lalu, pemimpin Buruh Jeremy Corbyn menyatakan dirinya ingin terlibat dalam proses Brexit yang akan menentukan masa depan Inggris. Ditegaskan bahwa untuk soal ini ia tidak ingin bersikap partisan.
Bagi Partai Buruh, jika dalam kesepakatan Brexit terdapat jaminan bahwa Inggris akan tetap berada dalam custom union (bea cukai bersama UE), tak ada pengawas perbatasan di Irlandia Utara, tenaga kerja Inggris terlindungi, dan juga standar perlindungan lingkungan bisa dipertahankan, Partai Buruh akan mendukung kesepakatan itu. Namun, tawaran ini tak dianggap serius oleh May. Selama dua tahun proses negosiasi Brexit, May tidak pernah merangkul Buruh.
Kini, ketika May berada di titik kritis, Buruh telah menetapkan harga mati. May harus terlebih dulu menjamin bahwa tidak akan ada opsi "Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan". Jika ini disanggupi, Buruh baru bersedia diajak berunding.
Tak berbeda
Opsi apa yang masih tersedia bagi Inggris? Penolakan masif parlemen dan lolosnya May dari mosi tidak percaya sebetulnya tidak mengubah kebuntuan yang sudah ada. May menyatakan, ia akan berdiskusi dengan semua kubu di parlemen untuk mengidentifikasi apa yang bisa dilakukan pemerintah agar memperoleh dukungan parlemen. Lalu, May akan membawa ini ke Brussels. Namun, mengingat sikap Brussels yang sudah solid menutup pintu negosiasi, langkah ini akan sia-sia. Terkecuali, Inggris mengubah "garis merah"-nya.
Gagalnya mosi tidak percaya berarti menutup opsi percepatan pemilu. Dengan demikian, opsi yang masih bisa dilakukan adalah menyerahkan kembali keputusan pada publik melalui referendum kedua. Tetapi, langkah ini akan membuat sebagian masyarakat Inggris yang pada referendum 2016 memilih Brexit merasa dikhianati.
Pada 2016, suara untuk Brexit 52 persen dan suara untuk tetap di UE 48 persen. Jika referendum kedua dilaksanakan, kemungkinan posisi masih sama kuat. Kubu mana pun yang menang akan memiliki selisih tipis. Untuk bisa melaksanakan referendum, May harus meminta izin perpanjangan tenggat Brexit pada Brussels. Normalnya, persiapan referendum memakan waktu sekitar 22 pekan.
Opsi berikutnya adalah Brexit tanpa kesepakatan. Jika kebuntuan terus berlarut-larut, karena tak ada satu pun opsi yang didukung mayoritas parlemen, Inggris harus keluar dari blok UE pada 29 Maret pukul 23.00 tanpa kesepakatan. Ini berarti, tak akan ada periode transisi selama dua tahun yang tercantum di dalam kesepakatan. Seluruh kerja sama dan akses dengan UE akan terputus.
Baik Inggris maupun UE sudah memprediksi bahwa opsi ini akan membuat kekacauan ekonomi dan politik di kedua belah pihak. Namun, UE sejak beberapa waktu lalu telah meningkatkan kesiapan untuk meminimalisasi guncangan jika hal itu sampai terjadi.
Opsi terakhir, walaupun absurd namun tetap tidak mustahil, seluruh proses Brexit dihentikan dan Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa.
Kini, parlemen menjadi penentu akan dibawa ke mana masa depan Inggris.