JAKARTA, KOMPAS — Terbatasnya infrastruktur menjadi salah satu kendala upaya optimalisasi gas bumi di dalam negeri. Padahal, dalam kurun lima atau enam tahun ke depan, kapasitas produksi gas alam cair atau LNG Indonesia akan naik dua kali lipat menjadi 36 juta ton per tahun. Infrastruktur gas bumi harus diperkuat mulai dari sekarang.
Infrastruktur gas yang perlu diperkuat adalah terminal regasifikasi, fasilitas regasifikasi dan penyimpanan terapung (FSRU), serta jaringan pipa gas. Kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan membuat pendistribusian menjadi rumit. Selain itu, mata rantai gas yang panjang, mulai dari produsen sampai ke pengguna akhir, juga membuat harga gas mahal.
”Pemanfaatan gas bumi sebagai energi primer yang mampu menggantikan minyak dan batubara belum optimal lantaran keterbatasan infrastruktur. Di satu sisi, tata kelola gas masih perlu pembenahan agar harga gas di dalam negeri kompetitif. Beberapa penyebabnya adalah mata rantai gas yang panjang dan butuh penyederhanaan,” ujar Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah, Jumat (18/1/2019) di Jakarta.
Saat ini, infrastruktur gas yang ada adalah kilang LNG dan terminal regasifikasi Arun di Aceh, kilang LNG Badak di Kalimantan Timur, serta kilang LNG Donggi Senoro di Sulawesi Tengah. Adapun FSRU masih ada dua unit, yaitu FSRU Lampung yang dioperasikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan FSRU Jawa Barat yang dioperasikan PT Nusantara Regas.
Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi siap jual (lifting) gas meningkat dalam kurun tiga tahun terakhir. Lifting gas 2018 tercatat 1,139 juta barel setara minyak per hari (BOEPD) atau naik dari realisasi pada 2017 yang sebanyak 1,181 juta BOEPD. Adapun realisasi lifting gas 2016 adalah 1,180 juta BOEPD.
”Apabila tiga proyek hulu mulai beroperasi secara komersial, yaitu IDD (Indonesian Deep Water di perairan antara Kalimantan dan Sulawesi), blok Masela (Maluku), dan Tangguh unit 3 (Papua Barat), maka akan ada tambahan kapasitas produksi LNG sebanyak 18 juta ton,” kata Wakil Kepala SKK Migas Sukandar.
Pemerintah terus memperkuat jaringan gas rumah tangga untuk menggantikan pemanfaatan elpiji atau bahan bakar minyak. Tahun lalu, 90.429 rumah tangga sudah tersambung dengan jaringan gas pipa. Dengan demikian, total rumah tangga yang tersambung dengan jaringan gas pipa tercatat sebanyak 463.619 rumah tangga.
Adapun pembagian paket konversi minyak ke elpiji untuk nelayan sepanjang 2018 tercatat 25.000 paket. Realisasi itu lebih banyak dibandingkan realisasi pada 2017 yang mencapai 17.081 paket. Tahun ini, pemerintah tetap akan memperluas pendistribusian paket konversi tersebut.
Gas tumbuh
Dalam acara BP Statistical Review of World Energy 2018 di Jakarta pada akhir tahun lalu, Group Chief Economist BP Global Spencer Dale mengatakan, pertumbuhan konsumsi energi sepanjang 2017 tertinggi dalam 10 tahun terakhir yang rata-rata tumbuh 1,7 persen per tahun. Penggunaan gas alam meningkat hingga 96 miliar meter kubik yang diikuti dengan penggunaan energi terbarukan sebesar 17 persen atau 69 miliar juta ton setara minyak.
Dalam paparan itu, penggunaan gas alam di China pada 2017 tercatat 31 miliar meter kubik, Timur Tengah 28 miliar meter kubik, dan Eropa 26 miliar meter kubik. Sebaliknya, penggunaan gas alam di Amerika Serikat turun 1,2 persen atau 11 miliar meter kubik.
”Sejumlah negara di Asia, khususnya di China dan India, mendominasi tumbuh pesatnya permintaan energi di dunia. Industri adalah sektor terbesar dalam permintaan energi,” kata Spencer.