JAKARTA, KOMPAS - Generasi muda optimistis untuk menghadapi tahun 2019. Berbagai potensi dinilai dapat dikembangkan untuk kemajuan Indonesia, salah satunya adalah ekonomi digital.
Andhyta Firselly Utami (27), alumni Harvard University, Amerika Serikat di sela-sela konferensi tahunan Yayasan Pemimpin Muda Indonesia atau Young Leaders for Indonesia (YLI) 2019 di Jakarta, Sabtu (19/1/2019), mengatakan, dari segi ekonomi, ketahanan perekonomian Indonesia terbukti kuat selama tahun 2018.
“Sinergi kebijakan moneter dan fiskal sudah baik untuk menjaga stabilitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi stabil tahun lalu. Aku optimistis gejolak perekonomian sudah bisa diantisipasi pada 2019,” tuturnya.
Andhyta tidak memungkiri, hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 dapat memengaruhi arah kebijakan ekonomi Indonesia. Namun, visi dan misi dari kedua calon presiden turut menempatkan masalah perekonomian menjadi isu penting. Dengan demikian, ia meyakini perekonomian Indonesia akan tetap bertumbuh pada 2019.
Menurut Andhyta, salah satu hal yang dapat menjadi fokus pemerintah pada 2019 adalah industri ekonomi digital. Selama ini, regulasi terkait ekonomi digital masih belum mampu menyaingi kecepatan pertumbuhan industri digital.
Dalam laporan McKinsey and Company bertajuk Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity pada 2016, kontribusi ekonomi digital di Indonesia diproyeksikan dapat mencapai 150 miliar dollar AS atau setara 10 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2025.
“Regulasi pemerintah belum mengatur dan mengakomodasi perlindungan sektor ekonomi digital, bagaimana industri dapat berkontribusi pada penerimaan negara, serta secara jelas meredistribusi penerimaan pemerintah untuk program sosial,” kata Andhyta.
CEO Office PT Tokopedia I Ketut Adi Putra sepakat, industri digital akan bertumbuh lebih baik pada 2019. Pertumbuhan tidak hanya akan terjadi pada sektor e-dagang dan transportasi, tetapi juga di sektor pendidikan, kesehatan, dan media.
Namun, lanjut Adi, tantangan saat ini adalah ketersediaan tenaga kerja yang kompeten di bidang teknologi digital. Selain jumlah ketersediaan tenaga kerja yang terbatas, kualitas kompetensi tenaga kerja juga masih menjadi momok.
“Sewaktu kuliah, kami mendapatkan kurikulum yang sudah ketinggalan zaman,” tuturnya. Ia mencontohkan, sewaktu belajar tentang pemasaran digital, ia tidak menerima materi terkait cost per click (CPC) dan cost per impression (CPI) yang biasa digunakan di dunia digital.
Akibatnya, banyak anak muda yang terpaksa belajar di luar kampus, seperti melalui platform daring, ataupun ketika telah diterima bekerja di suatu perusahaan. Sedangkan kebutuhan talenta muda di industri digital terus bertambah karena industri digital pun baru bertumbuh di Indonesia.
Ketua Yayasan YLI Tuty Collyer mengatakan, berkomitmen untuk melahirkan pemimpin muda yang tanggap dengan tantangan Industri 4.0. YLI adalah program yang digagas oleh PT McKinsey Indonesia pada 2008.
Program ini berorientasi untuk memupuk kemampuan memimpin di kalangan anak muda, yang dilaksanakan selama enam bulan untuk mahasiswa berprestasi. Para anak muda akan dibekali oleh kemampuan untuk memecahkan masalah, eksekusi rencana, dan memimpin dengan integritas.
“Anak muda adalah masa depan bangsa. Kami ingin mempersiapkan anak muda dengan talenta yang dapat bersaing pada masa bonus demografi,” kata Tuty.
Komitmen Berkolaborasi
Turut hadir dalam Annual Conference 2019, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Ia menyampaikan, pemerintah memiliki komitmen untuk terus berkolaborasi dengan anak muda Indonesia. Kolaborasi diperlukan untuk memberikan ide dan solusi baru bagi permasalahan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.
“Kalau kita lihat report McKinsey, Indonesia kekurangan talent sebanyak 9 juta orang selama 2015-2030. Artinya, kita membutuhkan 600.000 talent dalam setahun,” kata Rudiantara. Revolusi industri 4.0 perlu dilihat sebagai kesempatan baru bagi talenta baru untuk bertumbuh.
Rudiantara melanjutkan, prospek ekonomi digital di Indonesia masih terus bertumbuh. Pemerintah menargetkan agar Indonesia memiliki lima perusahaan rintisan kategori unicorn atau perusahaan dengan valuasi di atas 1 miliar dollar AS.
Saat ini, terdapat empat perusahaan unicorn, yakni Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, dan Traveloka. Keempat perusahaan tersebut telah membantu menghubungkan teknologi digital dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada pasar.
Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang e-dagang dan transportasi. Rudiantara menyampaikan, industri digital masih dapat dikembangkan di sektor pendidikan, pertanian, dan kesehatan.