JAYAPURA, KOMPAS — Dewan Adat Papua menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menyiapkan regulasi khusus mengenai pengelolaan hutan adat. Hal tersebut untuk menghentikan aktivitas pengiriman kayu tanpa izin dari wilayah Papua.
Wakil Ketua Dewan Adat Papua John Gobay di Jayapura, Jumat (18/1/2019), mengatakan, pihaknya menuntut agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang menjadi dasar hukum pengelolaan hutan adat. Masyarakat pemilik hak ulayat tidak ingin kayu dari hutan adat yang keluar selalu dianggap ilegal.
Tidak dikeluarkannya NSPK, katanya, merupakan bentuk pengabaian pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Oleh karena itu, masyarakat berhak mengelola hutan adat milik mereka.
Harus ada regulasi yang jelas dari pemerintah pusat.
”Selama tidak ada NSPK, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat (IUPHHK-MHA) tidak dapat dikeluarkan pemda setempat,” kata John.
Menurut John, NSPK tersebut juga membuka peluang bagi masyarakat adat membuat usaha pengelolaan kayu. Selama ini, masyarakat hanya menjual kayu, misalnya jenis merbau, kepada perusahaan dengan nilai jual yang sangat rendah.
”Dengan adanya regulasi yang jelas dari KLHK, masyarakat dapat mengelola hutan adat miliknya dengan kuota lahan yang terbatas untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mereka juga siap membayar pajak kepada negara,” kata John.
Ia pun mengakui, ratusan kontainer kayu merbau yang disita di Surabaya dan Makassar—karena diduga ilegal—berasal dari hutan milik masyarakat adat dari sejumlah kabupaten di Papua, seperti Jayapura dan Sarmi.
Sepanjang Desember 2018 hingga Januari 2019, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibantu TNI Angkatan Laut menggagalkan pengiriman kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat. Total disita 384 kontainer dalam empat kali pengiriman dengan nilai total sekitar Rp 120 miliar atau setara lebih dari 7.000 meter kubik.
Saat ini, tim Ditjen Penegakan Hukum KLHK, tim KPK, dan polisi masih menyelidiki kasus yang melibatkan sejumlah perusahaan tersebut. Asal kayu dan dokumen keluarnya kayu dari pelabuhan masih belum diketahui secara pasti.
”Mudah-mudahan dengan penyitaan ratusan kontainer kayu itu menjadi koreksi bagi masyarakat adat dan pemerintah bahwa harus ada regulasi yang jelas dari pemerintah pusat,” kata John.
Tunggu tujuh tahun
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Yan Pugu mengakui, masyarakat sudah menunggu NSPK dari KLHK selama tujuh tahun terakhir.
”Pada tahun 2015, kami bersama Gubernur Papua Lukas Enembe secara langsung menemui Menteri KLHK Siti Nurbaya untuk meminta kejelasan penetapan NSPK. Tapi, permintaan ini belum ditindaklanjuti hingga kini,” kata Yan.
Ia menambahkan, 20 kelompok masyarakat yang memegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat tidak dapat beroperasi hingga saat ini. ”Dengan adanya NSPK, kami akan membatasi luas areal hutan yang dikelola setiap kelompok maksimal 5.000 hektar,” kata Yan.
Pengelolaan lahan masyarakat adat, sejak puluhan tahun lalu, masih menjadi isu hangat. Salah satunya terkait sejumlah penyesuaian yang harus dilakukan antara hukum negara dan hukum adat.
Di Jakarta, penyitaan 384 kontainer kayu merbau hasil pembalakan liar diapresiasi sejumlah pihak. Pada saat yang sama, pemerintah juga didesak memperbaiki tata kelola hutan, terutama sistem verifikasi legalitas kayu.
Tanpa perbaikan di hulu, kejadian serupa terus berulang dan menurunkan kepercayaan internasional pada sumber kayu legal dan berkelanjutan dari Indonesia.
Pengungkapan pembalakan liar di Papua bukan kali ini saja. Pada tahun 2003-an, Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merilis setiap bulan 600.000 meter kubik kayu ilegal dari Papua dikirim ke beberapa negara tujuan, seperti China, India, dan Vietnam.