BNPB Perkuat Analisis Bencana dan Kolaborasi TNI/Polri
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Karakteristik bencana alam di Indonesia makin beragam. Penekanan risikonya membutuhkan kolaborasi antara pakar dan aparat keamanan yang mampu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dari hulu ke hilir.
Di hulu, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional Doni Monardo, pakar terkait bencana alam memiliki peran utama untuk menganalisis gejala-gejala ilmiah yang terjadi di Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam rapat kerja nasional bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah se-Indonesia, sejumlah Kepala Kepolisian Resor, dan sejumlah Komandan Resor Militer di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (19/1/2019).
"Kami (BNPB) membuat tim pakar khusus yang setiap sebulan sekali akan menyampaikan hasil penelitiannya mulai Januari ini. Hasil kajian dan penelitian akan kami umumkan ke publik," jelas Doni.
Menurut Doni, analisis tim pakar dapat menunjukkan siklus dan perkiraan bencana berdasarkan data-data yang mencerminkan pengamatan gejala-gejala alam. Informasi analisis tersebut bukan untuk menakut-nakuti, tetapi itu untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Doni menyampaikan, belajar dari bencana alam di Palu pada September lalu, Indonesia tidak boleh lagi abai pada analisis pakar. Sebab, sesungguhnya sudah ada penelitian yang mengingatkan dampak pergerakan sesar di Palu melalui peta geologi pada 2016, bahkan sekitar tahun 1970.
Apalagi, Doni berpendapat, saat ini karakteristik bencana berubah dari pemahaman pada umumnya. “Kalau ‘musuh’-nya berubah, strategi menghadapinya juga perlu berubah. Agar strateginya tepat, kehadiran tim pakar dibutuhkan,” ujarnya.
Perubahan karakteristik itu turut diamati Dosen Geodesi Gempa Bumi Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilando, terutama pada bencana gempa bumi. Dia menyampaikan, jumlah sumber gempa bumi di daratan meningkat drastis.
Pada 2012, jumlah yang tercatat sebanyak 81 sumber gempa. Saat ini jumlahnya mencapai 295 sumber gempa.
Selain itu, area mayoritas terjadinya bencana gempa bumi dengan kekuatan lebih dari Magnitudo 6 dan kedalaman kurang dari 80 kilometer, itu juga bergeser. Menurut Irwan, selama 1990 – 2004, sekitar 78 persen gempa berkekuatan Magnitudo 6 itu berada di Indonesia bagian timur. Namun selama 2004 – 2019, setidaknya 52 persen gempa bermagnitudo 6 itu berada di Indonesia bagian barat.
Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah gempa bumi di Pulau Jawa sebanyak 42 persen. Irwan menuturkan, pada 1990 – 2004, gempa bumi di Pulau Jawa terjadi 195 kali sedangkan pada 2004 – 2019, jumlahnya menjadi 278 kali. Data ini, menurut Irwan, mengubah anggapan bahwa Pulau Jawa aman dari gempa bumi.
Perubahan pola dan karakteristik gempa bumi ini perlu disikapi dengan tepat. “Ketika data bercerita, cara pandang dan persepsi mesti ikut berubah. Hasil penelitian harus menjadi dasar keputusan dalam menyikapi potensi risiko bencana alam,” ucap Irwan.
Selain gempa bumi, karakteristik tsunami pun kian beragam. Sebelumnya, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari mengatakan, penyebab tsunami akibat longsoran permukaan bawah laut seperti yang ada di Palu (September 2018) itu baru diidentifikasi.
Secara umum, Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Ridwan Djamaluddin mengatakan, keterbukaan data antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, itu menjadi kunci. BNPB bertanggung jawab mengoordinasikan data tersebut.
“Jadikan pengalaman dan pengetahuan pascabencana sebagai pengetahuan prabencana,” ucapnya dalam rapat kerja nasional BNPB.
Kesiapsiagaan
Di hilir, Doni menyatakan, penelitian dari pakar itu membutuhkan sikap kesiapsiagaan masyarakat. “Untuk memperkuat kesiapsiagaan masyarakat ini, kami menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri). Kami sudah menandatangani nota kesepahaman dengan kedua pihak ini. Tindak lanjut dan rincian teknisnya akan digodok dalam perjanjian kerja sama,” tuturnya.
Menurut Doni, TNI dan Polri memiliki kapasitas untuk menjangkau masyarakat hingga tingkat desa. Dia juga meminta BPBD, TNI, dan Polri, menggandeng tokoh masyarakat setempat agar pengetahuan dan sikap kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat menjangkau hingga tingkat keluarga. Konkretnya, ada pelatihan evakuasi bencana alam hingga di tingkat rukun tetangga dan rukun warga.
Terkait kerja sama tersebut, Komandan Resor Militer 162/Wira Bhakti Kolonel (Czi) A Rizal R menanggapi dengan optimistis. Dia menyarankan agar BNPB membuat standar rujukan pelaksanaan dan teknis yang sederhana dan fleksibel, serta sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Dengan demikian partisipasi warga pun dapat tumbuh. (JUD)