Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, Rabu (16/1/2019), menunjukkan bukti kayu olahan jenis merbau di dalam kontainer di Pelabuhan Peti Kemas Teluk Lamong Surabaya, Jawa Timur. KLHK menyita 199 kontainer seperti itu di tempat ini.
Pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal terus terjadi di Indonesia. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang dibangun sejak 2002 ternyata belum mampu mengatasi peredaran kayu ilegal.
JAKARTA, KOMPAS – Penyitaan 384 kontainer berisi kayu merbau asal Papua di Surabaya dan Makassar pada Desember – Januari 2019 membuktikan pembalakan liar masih terjadi di Indonesia. Kewibawaan Indonesia pada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK dipertaruhkan mengingat sistem ini dibangun Indonesia sejak tahun 2002 untuk mengatasi pembalakan liar yang marak pada saat itu.
Aparat didesak mengusut tuntas dan transparan kasus ini hingga ke cukong atau aktor intelektual untuk menunjukkan keseriusan Indonesia mengatasi pembalakan liar. Apalagi beberapa tahun terakhir Indonesia mempromosikan kepada dunia luar akan penurunan deforestasi dari 1,09 juta hektar (2014-2015), 0,63 juta hektar (2015-2016), menjadi 0,48 juta hektar (2016-2017).
“Ini jelas tamparan keras dan tak terbantahkan bahwa masih terjadi pembalakan liar dan sistem (SVLK) masih failled menghadang pembalakan liar,” kata Togu Manurung, pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kamis (17/1/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, pembalakan liar serta penyelundupan tak mungkin dikerjakan sendiri pelaku di lapangan. Sudah menjadi rahasia umum, lanjutnya, keterlibatan oknum aparat maupun pegawai pemerintah turut “bermain”.
Pembalakan liar serta penyelundupan tak mungkin dikerjakan sendiri pelaku di lapangan. Sudah menjadi rahasia umum, keterlibatan oknum aparat maupun pegawai pemerintah turut “bermain”.
Ini akan menjadi tantangan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membongkar kasus secara tuntas. Apalagi kasus ini terungkap berkat supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka penyelamatan sumber daya alam Papua.
“Siapa yang bertindak agar ditindak tegas sehingga menjaga kredibilitas Indonesia di mata internasional serta menjaga SVLK yang menjadi kebanggaan Indonesia,” kata dia.
Usut perusahaan
Syahrul Fitra, peneliti Yayasan Auriga Nusantara pun mengatakan kemunculan kasus ini menjadi bukti SVLK belum mampu mengatasi peredaran kayu ilegal. Ia mendorong agar Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK bertindak aktif dengan mengusut perusahaan pengirim dan penerima kayu untuk dikenai sanksi pencabutan sertifikat legalitas kayu.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Muhammad Ichwan mengatakan dua perusahaan yang menjadi tersangka dalam kasus penyitaan pertama di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, PT SUAI di Gresik, dan UD MAR di Pasuruan, mengantongi sertifikat legalitas kayu. JPIK pun mendesak Komite Akreditasi Nasional (KAN) agar mengevaluasi kinerja lembaga Sertifikasi Legalitas Kayu yg memberikan SLK kepada kedua perusahaan tersebut.
Dua perusahaan yang menjadi tersangka dalam kasus penyitaan pertama di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, PT SUAI di Gresik, dan UD MAR di Pasuruan, mengantongi sertifikat legalitas kayu.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Rufi’ie mengatakan Ditjen PHPL masih berkoordinasi dengan Ditjen Gakkum KLHK terkait tindak-lanjut penanganan kasus ini. Ia meyakinkan bahwa KLHK tetap komitmen menjaga wibawa SVLK dengan memberi sanksi bagi pelanggar.
“Kalau salah, sertifikasi perusahaan bisa dicabut LVLK. Kalau LVLK yang ngawur nanti KAN yang nyabut setelah dilakukan audit khusus. Resminya yang mencabut nanti kementerian karena yang menetapkan menteri dan KAN pemberi akreditasi,” kata dia.
Kompas/Ichwan Susanto
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali menyita 199 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari tanah papua. Kontainer yang ditaksir berisi 4.000 meter kubik kayu jenis premium tersebut hingga kini masih berada di pelabuhan peti kemas Teluk Lamong di Surabaya Jawa Timur.
Rufi’ie mengatakan pihaknya bisa mencabut akses perusahaan terhadap Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) atau sistem ketelusuran bahan baku. Dampaknya, perusahaan tak lagi bisa melakukan ekspor.
Namun, temuan JPIK dalam “Kertas Posisi 2 Tahun Pelaksanaan Lisensi FLEGT” menyebutkan temuan pemegang izin yang sertifikatnya dibekukan atau dicabut serta kayu yang tak bersertifikat SVLK masih bisa masuk ke dalam SIPUHH. Hal ini memungkinkan terjadinya pencampuran bahan baku yang sumbernya tidak jelas. Karenanya, JPIK meminta agar data dan informasi penatausahaan kayu dan peredarannya dalam SIPUHH bisa diakses secara detil oleh pemantau independen dan masyarakat luas.