JAKARTA, KOMPAS — Persoalan gula tak semanis rasanya. Gula rafinasi seharusnya hanya diperuntukkan kebutuhan industri, nyatanya gula itu dijual bebas di pasar tradisional. Bahkan, ada pula yang dipasarkan di situs perdagangan elektronik atau e-dagang. Perlu efek jera bagi pelaku usaha yang melanggar.
”Kami menemukan, rembesan gula rafinasi sekarang sudah diperjualbelikan secara bebas di sejumlah situs e-dagang. Untuk menanganinya, kami masih menelusuri penjualan gula rafinasi lewat situs e-dagang,” kata Aldison, Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Perizinan Perdagangan Dalam Negeri, Perdagangan Luar Negeri, dan Perdagangan Lainnya pada Kementerian Perdagangan, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/1/2019).
Menurut Aldison, penangkapan pelaku usaha di e-dagang sulit dilakukan. Untuk menelusuri pelakunya, harus dilakukan secara berlapis-lapis. ”Kami harus meminta data akun penjual kepada situs e-dagang, kemudian memastikan apakah akun tersebut benar adanya sebab ada kemungkinan akun fiktif. Jika benar ada akun tersebut, baru bisa kami proses lebih lanjut,” tuturnya.
Sementara untuk penjualan gula rafinasi di pasar tradisional, Aldison menyebutkan, sepanjang 2018 ada dua industri makanan dan minuman di Karawang (Jawa Barat) dan Bantul (DI Yogyakarta) serta tiga distributor di Karawang, Jakarta, dan Bandung, yang menjual gula rafinasi ke pasar tradisional. Total rembesan gula rafinasi dari kelima pelaku usaha ini sebanyak 98,7 ton.
”Saat ini juga ada dua pelaku usaha yang masih dalam proses pemeriksaan, yaitu satu distributor di Tangerang dan satu industri makanan dan minuman di Karawang. Total gula rafinasi yang rembes ke pasaran mencapai 9,75 ton,” ucap Aldison.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pihaknya masih mencari informasi siapa pelaku usaha yang menjual gula rafinasi, termasuk yang melalui e-dagang. ”Kami tengah berkomunikasi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan,” ujarnya.
Menurut Adhi, industri makanan dan minuman yang menjual gula rafinasi itu bukan anggota Gapmmi. Sebab, jika benar dari industri makanan dan minuman, mereka tidak mungkin mempertaruhkan reputasi perusahaan hanya untuk mendapat keuntungan dari melanggar hukum.
Kalau hanya mencabut izin usaha, pelaku usaha tersebut dapat kembali membuat perusahaan baru yang akhirnya terulang lagi rembesan gula rafinasi.
”Kami khawatir, para pelaku usaha tersebut hanya mengaku-ngaku memiliki izin industri. Sebenarnya mereka tidak memiliki izin itu sehingga membeli gula rafinasi untuk diperjualbelikan. Jika demikian, tindak tegas dari pemerintah sangat diperlukan,” tutur Adhi.
Sayangnya, sanksi bagi pelaku usaha yang menjual gula rafinasi ke pasaran tidak menimbulkan efek jera. Ahmad Heri Firdaus, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebutkan, memang izin usahanya dicabut, tetapi pelaku usaha yang menjual gula rafinasi hanya diberikan sanksi administrasi.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi (GKR). Dalam Pasal 3 disebutkan, GKR hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran.
Selain itu, dalam Pasal 11 Ayat 2 juga disebutkan, industri pengguna dilarang menjual GKR yang didistribusikan produsen GKR. Apabila melanggar, seperti disebutkan dalam Pasal 20, industri pengguna akan dikenai sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi menteri atau pejabat yang ditunjuk.
”Kalau hanya mencabut izin usaha, pelaku usaha tersebut dapat kembali membuat perusahaan baru yang akhirnya terulang lagi rembesan gula rafinasi. Maka, jika memang benar mau membenahi persoalan ini, penghukuman jangan sekadar administrasi, tapi harus ada efek jera, misalnya pemberian denda,” ujar Ahmad.
Pemerintah juga harus membuat aturan yang tegas, jangan sampai ada celah bagi pelaku usaha yang ingin mengambil keuntungan besar. Ahmad menuturkan, perlu ada pengawasan mulai dari importir gula mentah hingga saat penjualan ke industri makanan dan minuman.
”Pengawasan juga harus dilengkapi data kebutuhan kapasitas produksi setiap industri secara akurat. Ketika ada importir ataupun industri makanan dan minuman yang meminta gula di atas kapasitas produksi, itu bisa langsung ditindak,” ujar Ahmad. (SHARON PATRICIA)