JAKARTA, KOMPAS – Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai mempersiapkan resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Salah satu resolusi yang akan dilaksanakan adalah melembagakan Pekan Kebudayaan Nasional sebagai platform aksi bersama yang meningkatkan interaksi kreatif antar budaya.
Resolusi ini selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada puncak Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang menyebut bahwa inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Karena itu, yang dibutuhkan sekarang tidak sekadar panggung ekspresi, melainkan panggung interaksi yang bertoleransi.
Pekan Kebudayaan Nasional akan digelar mulai Maret hingga Oktober 2019. “Pekan Kebudayaan Nasional digelar dalam bentuk kompetisi budaya tingkat nasional demi memperluas ruang ekspresi dan interaksi kreatif masyarakat dari desa hingga ke kota,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, Kamis (17/1/2019), di Jakarta.
Sejumlah kompetisi budaya yang akan digelar meliputi kompetisi literasi budaya, ketrampilan teknologi tradisional, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, dan seni dasar. Selain itu, digelar pula kompetisi budaya tingkat regional untuk menguatkan perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya tak benda di setiap provinsi dengan kompetisi kesenian tradisi khas provinsi, dan kompetisi teknologi tradisional khas provinsi.
Setelah kompetisi nasional dan regional digelar, Pekan Kebudayaan Nasional akan diisi dengan eksebisi unggulan dari rangkaian kompetisi yang telah dilakukan, jambore pemuda, dan Indonesiana (platform kegiatan seni budaya).
“Pekan Kebudayaan Nasional juga akan menjadi ruang pencerahan bagi segenap rakyat Indonesia terkait isu-isu kebudayaan. Sejumlah kegiatan yang mencerahkan akan digelar, seperti klinik pemajuan kebudayaan, pidato kebudayaan, kuliah umum, debat publik, seminar ilmiah pemajuan kebudayaan, dan lokakarya riset kemajuan kebudayaan,” kata Hilmar.
Pada akhirnya Pekan Kebudayaan Indonesia dipungkasi dengan parade Gelombang Nusantara yang melibatkan partisipasi pelaku budaya se-Indonesia. Parade ini diisi dengan devile (parade) marching band dan kavaleri kuda hias; devile tari dan wahana patrol; koreografi silek, silat, kuntau, wushu, dan orkes tradisional; koreografi utama dan rampak perkusi Nusantara.
Masalah umum
Diakui Hilmar, selama ini terdapat permasalahan umum menyangkut kompetisi budaya. Pertama, seringkali kompetisi hanya digelar di kota/kabupaten sementara aktivitas kebudayaan yang dikompetisikan hidup di desa-desa, kedua sifat dari kompetisi lebih mirip dengan selebrasi pelestarian olahraga tradisional dan permainan rakyat sehingga tidak pernah terjadi kompetisi dalam arti yang sesungguhnya, dan ketiga kurangnya pelibatan dan koordinasi banyak pihak dalam penyelenggaraan kompetisi.
Sebagai tahap awal, Pekan Kebudayaan Nasional akan difokuskan pada 306 kabupaten/kota penyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan desa-desa unggulan yang direkomendasikan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan komunitas-komunitas budaya.
Realisasi Pekan Kebudayaan Nasional sebagai resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 merupakan langkah baru bagi Indonesia. Selama ini, negara kurang memiliki perhatian khusus yang komprehensif terhadap kebudayaan.
Mantan Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Nunus Supardi mengatakan, sejarah menunjukkan bagaimana perhatian negara terhadap kebudayaan kurang. Kongres Kebudayaan digelar sejak 1918 namun setelah seabad berjalan, Indonesia tak juga memiliki strategi kebudayaan.
Realisasi penyusunan Strategi Kebudayaan baru mendapatkan landasan setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan lahir. Pasal 8 (c) menyebutkan, pemajuan kebudayaan berpedoman pada strategi kebudayaan. “Seluruh perjalanan Kongres Kebudayaan selama 100 tahun sejatinya merupakan peristiwa-peristiwa penting bagi Indonesia,” kata dia.