”Hasil pemilihan umum belum seluruhnja masuk. Tetapi gambaran pokok sudah kita peroleh. Bahwa Golkar menang, itu sudah diduga sebelumnja. Jang mungkin di luar dugaan adalah besarnja kemenangan. Setjara konservatif, bisa dikatakan, rata2 Golkar memperoleh lebih dari 60 prosen” (Kompas, 6 Juli 1971).
Pemilu 1971 menjadi pemilu pertama yang digelar Orde Baru. Melalui TAP MPRS Nomor XI Tahun 1966, sebenarnya telah dinyatakan, pemilu selambat-lambatnya digelar pada 5 Juli 1968. Namun, jadwal pemilu itu diubah melalui TAP MPRS Nomor XLII Tahun 1968, yang isinya menetapkan, pemilu digelar selambat-lambatnya 5 Juli 1971. Alasan pengunduran ini adalah belum selesainya pembahasan UU Pemilu dan lainnya.
Penundaan ini memberi kesempatan kepada pemerintahan Orde Baru untuk lebih mengonsolidasikan kekuatannya. Desain besar politik nasional yang saat itu dibangun bertolak dari trauma terhadap sistem politik era demokrasi parlementer. Slogan yang ketika itu terkenal adalah ”pembangunan yes, politik no”.
Sejalan dengan itu, partai politik peserta pemilu mulai dibatasi, yaitu hanya sembilan partai dan Golkar. Sembilan partai itu adalah NU, Parmusi, PNI, PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Perti, Murba, dan IPKI.
Penyederhanaan itu bukan asli kebijakan Orde Baru, tetapi sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Parkindo, IPKI, Perti, dan Murba. Partai lain seperti Masjumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960. Murba pernah dibekukan akhir tahun 1965, tetapi kemudian direhabilitasi Orde Baru.
Ada dua partai yang diakui pada tahun 1960, tetapi tidak diikutkan pada pemilu 1971, yaitu PKI dan Partindo. PKI telah dibubarkan dengan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Sementara itu, Partindo tidak ikut Pemilu 1971 karena tidak lama setelah peristiwa 30 September 1965, keanggotaannya di DPR-GR dibekukan.
Selain itu, ada dua peserta baru Pemilu 1971, yaitu Golkar dan Parmusi. Golkar, yang kemudian menjadi mesin politik Orde Baru, awalnya merupakan sekretariat bersama kelompok kekaryaan, yang merupakan aliansi militer, birokrasi sipil, serta golongan fungsional lainnya. Sementara Parmusi dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. Parmusi dibentuk untuk menampung aspirasi umat Islam yang belum terakomodasi oleh partai yang ada. Namun, saat itu pemerintah mencegah tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Natsir, Prawoto, dan Roem menjadi pengurus dan calon anggota DPR dari Masjumi. Padahal, Parmusi punya kedekatan dengan Masjumi,
Menjelang Pemilu 1971, juga ada rancangan agar partai-partai besar tidak menang. Jajaran birokrasi dan militer, secara langsung maupun tidak langsung, mendukung Golkar. Kondisi ini membuat Golkar yang saat itu menolak disebut sebagai partai mendapat 62,82 persen kursi DPR. (NWO)