JAKARTA, KOMPAS — Kondisi politik Indonesia menjelang pemilihan umum pada April mendatang dapat memberikan sentimen positif kepada pasar. Hal itu positif terhadap perekonomian dalam negeri mengingat tekanan eksternal diproyeksikan tidak akan sekuat tahun lalu.
Hal itu mengemuka di dalam diskusi tentang Market Outlook 2019 Bank Commonwealth, Kamis (17/1/2019) di Jakarta. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, meski pemilu kali ini termasuk keras karena merupakan pertarungan kembali dua sosok yang pada pemilu 2014 telah berhadap-hadapan, dari sisi kualitas pemilu kali ini akan lebih baik.
”Pemilu yang lalu hanya soal branding. Tapi, pemilu kali ini adalah ujian bagi petahana karena banyak masuk ke perdebatan yang berkualitas, seperti soal kemiskinan dan kebijakan ekonomi. Ini akan lebih kaya informasi bagi masyarakat umum,” kata Yunarto.
Menurut Yunarto, meskipun masa kampanye sebelum pemilu kali ini terasa bising, kebisingan itu hanya terjadi di media sosial. Selain itu, belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, pasar keuangan juga tetap merespons dengan positif setiap hasil pemilu.
Di sisi eksternal, Chief Executive Officer Schroders Indonesia Michael Tjoajadi menilai tekanan ke dalam negeri tahun ini tidak akan sekuat tahun lalu. Hal ini karena tekanan yang disebabkan naiknya suku bunga Amerika Serikat diperkirakan sudah hampir mencapai puncak.
”Jika awalnya The Fed diprediksi akan menaikkan lagi suku bunga acuan sampai 3 kali lagi pada 2019, tapi tampaknya hanya akan dilakukan sekali. Jadi sudah hampir mencapai puncak,” kata Michael.
Dengan laju pertumbuhan ekonomi AS yang diproyeksikan tidak setinggi sebelumnya, maka investor yang awalnya membawa dananya ke AS akan kembali melirik pasar negara-negara lain, termasuk negara berkembang, seperti Indonesia. Masuknya arus modal asing ke dalam negeri ditandai dengan penguatan rupiah yang terjadi beberapa waktu lalu. Selain itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang saat ini berada di kisaran 6.400 juga menandakan sentimen positif pasar terhadap kondisi yang ada.
Meski perang dagang AS dengan negara-negara lain, terutama dengan China, masih akan berlanjut dan memberi tekanan pada perekonomian Indonesia, di sisi lain harga minyak dunia telah turun. Hal ini akan mengurangi tekanan kepada perekonomian Indonesia.
”Tantangannya, bagaimana membuat lebih menarik tidak hanya bagi portfolio investment, tetapi juga direct investment agar ekonomi Indonesia tumbuh lebih stabil,” kata Michael.
Investasi
Terkait dengan kondisi tersebut, menurut Michael, instrumen investasi yang sesuai ke depannya adalah yang tidak bersifat fluktuatif atau memberikan imbal hasil yang tetap, yakni obligasi atau surat utang. Di pasar modal, likuiditas juga perlu ditambah dengan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menjadi perusahaan publik. Dengan demikian, investor asing akan lebih tertarik masuk ke Indonesia karena likuiditas di dalam negeri besar.
Dengan proyeksi kondisi ekonomi yang membaik pada 2019, Head of Wealth Management and Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya yakin jumlah investor di pasar modal Indonesia akan terus meningkat. ”Angka nasabah untuk reksa dana mencapai 1,1 juta nasabah yang dalam 4 bulan terakhir naik secara eksponensial. E-commerce berperan besar membantu kenaikan ini,” kata Ivan.
Meski demikian, lanjut Ivan, angka nasabah ini hanya 0,4 persen atau sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. Persentase ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai dua angka.
Salah satu segmen nasabah reksa dana yang jumlahnya meningkat tersebut adalah anak muda atau generasi milenial. Meski mereka cenderung lebih mendahulukan menghabiskan uang dibandingkan berinvestasi, perkembangan teknologi dan dunia digital turut mendorong mereka semakin memahami pentingnya investasi.
Meski di dunia politik, menurut Yunarto, produsen kabar bohong atau hoaks kebanyakan merupakan anak muda yang paham memainkan isu melalui media sosial, di sisi lain mereka juga relatif lebih mudah belajar mengenai investasi di pasar keuangan. Hal inilah yang diyakini akan meningkatkan jumlah investor di pasar keuangan pada masa mendatang.
”Memang saat ini dana mereka masih terbatas sehingga belum bisa melakukan diversifikasi, tetapi mereka mau belajar. Nanti ketika penghasilan mereka mencukupi, tentu mereka akan melakukan diversifikasi investasi,” kata Ivan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIARA)