Gula Rafinasi Bocor, 1 Juta Ton Gula Petani Tidak Terserap
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gula kristal rafinasi (GKR) yang sedianya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman merembet ke pasar konsumsi. Akibatnya, 1 juta ton gula kristal putih milik petani tidak terserap.
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/18/2019), menyatakan, rembesan ini selalu terjadi setiap tahun. Sepanjang tahun 2018, dia memperkirakan 500.000 ton gula rafinasi masuk ke pasar konsumsi. Ini dibuktikan dengan sulitnya penetrasi gula rakyat atau gula kristal putih (GKP) masuk ke pasar.
”Saat ini masih ada sekitar 1 juta ton GKP yang belum terserap. Itu berada di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung,” kata Soemitro.
Terbaru, Kementerian Perdagangan menemukan penjualan GKR di situs e-dagang, kemarin. Setelah diselidiki, penjual mengatasnamakan industri makanan dan minuman (Kompas, Jumat 18 Januari 2019).
Pemerintah pun diminta mengaudit industri makanan dan minuman terkait penggunaan gula kristal rafinasi. Soemitro sudah lama menduga industri makanan dan minuman turut ”bermain”. Menurut dia, kecil kemungkinan pabrik gula rafinasi yang merembeskan produknya ke pasar.
”Pabrik gula rafinasi itu setahu saya diaudit. Pertanyaannya, apakah industri makanan dan minuman itu pernah diaudit? Misalnya, dengan kapasitas mesin yang dimiliki, kebutuhan gulanya berapa? Apa betul dibuat untuk makanan dan minuman semua? Maaf, ya, jangan-jangan ada pintu langsung ke pasar (konsumsi),” kata Soemitro.
Pada akhir 2017, Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan transaksi gula rafinasi melalui mekanisme lelang, di PT Pasar Komoditas Jakarta. Ini untuk mengetahui neraca riil gula rafinasi yang dibutuhkan. Sempat ditunda penerapannya awal 2018, peraturan itu kemudian dibatalkan karena banyak pihak yang menolak.
Soemitro menilai aturan yang dibatalkan itu sebenarnya efektif untuk mengurangi rembesan gula rafinasi ke pasar konsumen. Di lelang itu, bisa diketahui industri makanan dan minuman apa saja yang membutuhkan gula rafinasi dan seberapa besar kebutuhan tersebut. ”Meski tidak semua, mayoritas pabrik gula rafinasi mendukung hal ini. Penolakan justru datang dari industri makanan dan minuman,” katanya.
Pada akhir 2017, Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan transaksi gula rafinasi melalui mekanisme lelang di PT Pasar Komoditas Jakarta. Ini untuk mengetahui neraca riil gula rafinasi yang dibutuhkan.
Dilematis
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), mencatat, rembesan GKR ke pasar konsumsi disebabkan disparitas harga yang terlalu tinggi. Diperkirakan, pada 2006-2011 rata-rata tahunan GKR yang merembes berkisar 185.104 ton-678.818 ton atau 8,03-29,44 persen dari pasokan GKR.
”Disparitas harga itu memberi insentif luar biasa untuk menginvasi ke pasar gula konsumsi, dan ini sudah terjadi bertahun-tahun,” kata Khudori saat dihubungi dari Jakarta.
Pasar GKR dan GKP sengaja disekat pemerintah untuk melindungi petani tebu. GKR tidak boleh diperdagangkan di pasar konsumsi dan hanya diperuntukkan bagi industri. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula.
Namun, Khudori menilai penyekatan pasar ini tidak selamanya efektif. Hal itu dibuktikan dengan terus merembesnya GKR ke pasar konsumsi. ”Secara alamiah sulit mengawasi produk yang nyaris sama, tetapi pasarnya berbeda,” kata Khudori dalam ”Jantung Perkara Gula Rafinasi”, Opini Kompas, 13 Oktober 2017.
Dia berpendapat, ada baiknya pasar GKR dan GKP tidak lagi dipisahkan, dengan catatan ada perbaikan di sejumlah sektor. Salah satunya, menggenjot efisiensi pabrik GKP, khususnya milik BUMN.
Selain itu, pabrik GKR juga diharapkan menyediakan bahan baku sendiri selain impor gula mentah. Namun, hal ini dirasa sulit terwujud karena dari 11 perusahaan GKR, hampir semuanya berada di pelabuhan. (INSAN ALFAJRI)