Bocor Gula Rafinasi ke Pasar Konsumsi
Kala impor gula mentah sebagai bahan baku gula rafinasi melonjak pada 2018, gula rafinasi bocor atau rembes di pasar konsumsi. Kebocoran gula rafinasi itu tak hanya dengan cara-cara konvensional, tetapi juga diperjualbelikan melalui e-dagang.
Rembesan gula untuk bahan baku industri makanan dan minuman itu tidak lagi malu-malu diperdagangkan sembunyi-sembunyi di bawah tangan. Gula rafinasi secara terang-terangan diperdagangkan di sejumlah laman pemasaran daring.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menemukan kebocoran gula rafinasi di pasar konsumsi yang dilakukan baik secara konvensional maupun lewat platform e-dagang. Kamis lalu, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag mengungkapkan temuan itu.
Gula rafinasi secara terang-terangan diperdagangkan di sejumlah laman pemasaran daring
Sebanyak 98,7 ton gula rafinasi rembes ke pasar konsumsi. Tiga pelaku industri makanan dan minuman dan empat distributor diduga menjual gula rafinasi itu ke pasar konsumsi. Mereka berasal dari Karawang (Jawa Barat), Jakarta (DKI Jakarta, Bantul (DI Yogyakarta), Bandung (Jawa Barat), dan Tangerang (Banten).
Baca juga: Hampir 100 Ton Gula Rafinasi Rembes ke Pasar
Gula Rafinasi Dijual di E-Dagang, Polisi Siap Bertindak
Dari jumlah itu, lima diantaranya, dua pelaku industri makanan-minuman dan tiga distributor, sudah dicabut izinnya. Dua lainnya sedang dalam penyelidikan. Kasus tersebut saat ini juga tengah ditangani Kepolisian RI.
Pada Kamis malam lalu, polisi sempat meninjau langsung lokasi pabrik PT Berkah Manis Makmur (BMM), yang produk gula rafinasinya sempat dijual salah satu akun pedagang di salah satu laman e-dagang. Tak lama setelah polisi menyelidiki kasus itu, penyedia laman pemasaran itu menutup akun pedagang tersebut.
Baca juga: Penjualan Gula Rafinasi Lewat E-Dagang Diselidiki
Polisi Dalami Penjualan Gula Rafinasi di Situs E-Dagang
Pemerintah melarang penjualan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Peredaran gula rafinasi itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi. Pasal 3 regulasi itu menyebutkan, gula rafinasi hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran atau konsumsi.
Selain itu, dalam Pasal 11 Ayat 2 Permendag Nomor 74/2015 juga dikatakan, industri pengguna dilarang menjual gula rafinasi yang didistribusikan oleh produsen atau industri gula rafinasi. . Apabila melanggar, dalam Pasal 20 dikatakan, industri pengguna akan dikenakan sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Aturan itu bertujuan melindungi petani tebu yang kerap kali dirugikan, karena gula kristal putih atau gula pasir milik petani menjadi tidak laku. Hal itu terjadi karena harga gula rafinasi lebih murah ketimbang gula petani.
Selama 2017-2018, pemerintah baru dapat menekan harga gula pasir di harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kilogram (kg). Sebelumnya, harga gula pasir di pasar konsumsi berada di kisaran Rp 13.000 per kg-Rp 14.000 per kg.
Jika dibandingkan harga gula dunia, harga gula di Indonesia itu tiga kali lipat lebih tinggi. Rata-rata harga gula mentah dunia pada 2018 sebesar 0,28 dollar AS (Rp 4.000) per kg, lebih murah dibandingkan harga domestik. Sementara harga pokok penjualan gula mentah Rp 9.700 per kg.
Rata-rata harga gula mentah dunia pada 2018 sebesar 0,28 dollar AS (Rp 4.000) per kg, lebih murah dibandingkan harga domestik. Sementara harga pokok penjualan gula mentah Rp 9.700 per kg
Impor gula
Baca juga: Tahun Politik, Kebutuhan Gula Rafinasi Naik
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2013-2017, impor gula meningkat 7,91 persen. Selain itu, realisasi impor gula mentah pada Januari-November 2018 sebanyak 2,96 juta ton dari alokasi impor 3,6 juta ton hingga akhir 2018.
Data di portal statistik ”Statista” menunjukkan, dalam kurun waktu 2017-2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, yaitu mencapai 4,45 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi dari China (4,2 juta ton) dan Amerika (3,11 ton).
Pada kurun waktu 2017-2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, yaitu mencapai 4,45 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi dari China (4,2 juta ton) dan Amerika (3,11 ton)
Baca juga: Impor Gula Tak Sebanding Pertumbuhan Industri
Sayangnya, tingginya impor gula mentah itu tidak berimbas kepada pertumbuhan industri makanan dan minuman. Impor gula meningkat, tetapi pertumbuhan industri makanan dan minuman justru melambat.
Tingginya impor gula tidak berimbang dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pertumbuhan industri makanan dan minuman melambat dari 8,29 persen pada triwulan III-2017 menjadi 8,1 persen pada triwulan III-2018.
Baca juga: Pengawasan Tata Niaga Mesti Diperkuat
Hal itu menunjukkan gula mentah impor yang diolah menjadi gula rafinasi tidak terserap sepenuhnya ke industri makanan dan minuman. Ujung-ujungnya kelebihan produksi gula rafinasi bocor ke pasar konsumsi.
Petani tebu telah merasakan dampak rembesan gula rafinasi setiap tahun. Pada 2018, sekitar 1 juta ton gula kristal putih petani tidak terserap pasar
Hampir setiap tahun petani tebu telah merasakan dampak rembesan gula rafinasi itu. Pada 2018, sekitar 1 juta ton gula kristal putih petani tidak terserap pasar. Gula kristal putih itu tersebar di sejumlah daerah di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung.
Baca juga: Gula Rafinasi Bocor, Gula Petani Tidak Terserap
Tindakan Tegas Pemerintah Dinantikan
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyebutkan, gula rafinasi selalu merembes ke pasar konsumsi setiap tahun. Pada tahun ini, kebocoran gula rafinasi itu diperkirakan sebanyak 500.000 ton.
Agar petani tebu tidak merugi, ketegasan pemerintah sangat diperlukan guna mengantisipasi rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Selain memperketat pengawasan distribusi gula rafinasi, tata niaga gula juga perlu dievaluasi.
Data kebutuhan gula bagi industri makanan dan minuman juga perlu diperjelas dan disajikan secara transparan. Data kebutuhan gula industri sangat penting agar impor gula mentah tidak berlebihan. Begitu juga audit terhadap industri gula rafinasi dan industri pengguna.