SURABAYA, KOMPAS — Jaringan Pemantau Independen Kehutanan meminta penyelidikan kasus pengiriman kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat menyentuh hingga ke pengguna. Pembiaran kepada perusahaan pengguna dikhawatirkan melanggengkan praktik kejahatan tersebut.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Muhammad Ichwan, Kamis (17/1/2019), saat dihubungi dari Surabaya menilai, pemerintah masih kurang terbuka kepada publik saat mengusut kasus perdagangan kayu ilegal. Hal itu dikhawatirkan membuat perusahaan-perusahaan ”nakal” masih aman dari jerat hukum.
Dia mencontohkan kasus pembalakan ilegal dengan tersangka Labora Sitorus pada 2013, diduga ada tujuh perusahaan yang terlibat. Namun, semua perusahaan pengguna kayu ilegal itu tidak pernah diusut dan dibuka kepada publik.
Pengawasan sebuah barang seharusnya dilakukan sejak barang berada di depo gudang pelabuhan asal sebelum disegel dalam peti kemas.
Adapun dari kasus pengiriman 384 kontainer kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya memublikasikan inisial dari dua perusahaan yang menerima kayu. Padahal disebutkan ada empat perusahaan yang terlibat. Dua perusahaan yang dimaksud adalah PT SUAI di Gresik dan UD MAR di Pasuruan.
Ichwan mengatakan, kedua perusahaan tersebut harus ikut bertanggung jawab karena menggunakan kayu ilegal sebagai bahan baku. Mereka bisa dicabut sertifikat legalitas kayu yang dimiliki karena terbukti menggunakan kayu ilegal.
”Penyidik bisa menjerat perusahaan penerima dengan pasal pencucian uang karena modus yang digunakan biasanya mengendapkan kayu ilegal ke beberapa perusahaan hingga aman untuk digunakan,” katanya.
Dia menuturkan, tiga daerah di Jatim, yakni Surabaya, Gresik, dan Pasuruan, merupakan wilayah risiko tinggi peredaran kayu ilegal. Selain dekat dengan akses pelabuhan, wilayah itu terdapat sentra industri pengolahan kayu. Dari sekitar 800 perusahaan kayu olahan, sekitar 300 di antaranya berorientasi ekspor.
Sebelumnya, saat konferensi pers di Surabaya, Rabu (16/1/2019), Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan, komitmen KLHK dalam mengungkap kasus ini sangat serius. Seluruh penyidik PNS sebanyak 60 orang dari sejumlah daerah dikerahkan untuk menyelesaikan kasus ini.
Penyidikan kayu merbau ilegal sudah dilakukan sejak satu tahun terakhir untuk menelusuri modus yang digunakan. Namun, baru sejak akhir tahun 2018 dilakukan penangkapan. ”Ini dilakukan oleh jaringan yang terorganisasi,” ucapnya.
Kepala Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Perak Hernadi Tri Cahyanto menambahkan, pihaknya kesulitan memantau isi barang yang dikirim menggunakan kontainer. Otoritas pelabuhan tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi dan membongkar kontainer secara langsung ketika sudah disegel pihak ekspedisi.
”Pengawasan sebuah barang seharusnya dilakukan sejak barang berada di depo gudang pelabuhan asal sebelum disegel dalam peti kemas. Kalau sudah masuk pelabuhan, yang dicek hanya dokumennya,” kata Hernadi.