PALU, KOMPAS - Status dua lahan relokasi dari usulan penyintas likuefaksi menjadi kendala untuk direalisasikan karena lahan itu milik perorangan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah perlu melobi pemerintah pusat untuk alokasi ganti rugi atau mekanisme tukar guling lahan tersebut dengan lahan negara. Status lahan tak boleh menjadi kendala proses relokasi warga.
“Sudah seharusnya gubernur selaku kepala pemerintah daerah mengusulkan anggaran kepada pemerintah pusat kalau memang belum dialokasikan. Sepanjang dikomunikasikan dengan baik, saya kira masalah ini bisa diselesaikan,” kata anggota Panitia Khusus Pengawasan Penyelenggaraan Pascabencana DPRD Sulteng Moh Masykur di Palu, Kamis (17/1/2019).
Masykur menyampaikan itu menanggapi pernyataan Gubenur Sulteng Longki Djanggola yang menyebutkan ada potensi masalah terkait status lahan dua titik relokasi baru yang diusulkan penyintas likuefaksi Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa, Kota Palu. Lahan itu milik perorangan, bukan hak guna usaha atau hak guna bangunan seperti dua lokasi lainnya yang telah ditetapkan untuk relokasi sekaligus pembangunan hunian tetap.
“Nah, itu dia persoalannya ganti rugi yang akan kita lihat ke depan. Kalau ternyata ruwet dan bermasalah, ya, saya tidak mau ambil risiko,” ujar Longki, seusai rapat koordinasi kebencanaan dengan berbagai pihak, Kamis.
Penyintas likuefaksi dan tsunami di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, harus direlokasi ke lahan baru karena lahan lama mereka ditetapkan terlarang untuk pembangunan hunian dan aktivitas ekonomi lainnya. Lahan relokasi telah ditetapkan pertengahan Desember 2018, termasuk dua titik di Palu, yakni di Kelurahan Duyu dan Kelurahan Tondo-Talise. Belakangan, penyintas di Balaroa dan Petobo tidak mau direlokasi ke dua titik itu.
Gempa bumi berkekuatan M 7,4 mengguncang Donggla, Palu, dan Sigi pada 28 September 2018. Gempa disertai tsunami dan likuefaksi yang menelan banyak korban jiwa serta kerusakan rumah.
Masykur menambahkan, selain berkomunikasi dengan pemerintah pusat, skema lain yang bisa digunakan yakni lahan relokasi ditukar guling dengan lahan milik negara. Hal ini butuh pendekatan khusus kepada pemilik lahan. Dengan kondisi memaksa karena bencana, langkah itu sangat mungkin untuk dilakukan.
Nurhasan (45), penyintas likuefaksi Petobo, heran tak adanya anggaran untuk ganti rugi lahan relokasi yang mereka usulkan. “Apakah negara ini tidak punya uang dan kemauan untuk mengurus warganya yang kena bencana? Pemerintah bisa dekati pemilik lahan agar mau melepas lahannya dengan harga terjangkau,” ujarnya.
Ia menegaskan, para penyintas di Petobo tak mau direlokasi jauh dari kerabat yang berada di luar areal bekas likuefaksi dan masih tetap tinggal di situ. Jarak titik relokasi yang ditetapkan pemerintah dari Petobo sekitar 7 kilometer. Selain itu, para penyintas sulit sekali tinggal jauh dari kampung leluhurnya meskipun itu sudah hancur karena likuefaksi.
Sementara, penyintas di Balaroa khawatir lahan relokasi yang ditetapkan di Kelurahan Duyu tak aman karena daerah itu memiliki sejarah masa lalu yang tidak baik. Duyu dalam bahasa Kaili, suku yang awal mendiami Palu, berarti longsor.
Lahan relokasi untuk penyintas dari Kelurahan Petobo dan Balaroa diperkirakan seluas 150 hektar. Berdasarkan target yang ditetapkan pemerintah, pembangunan hunian tetap rampung dalam dua tahun. Saat ini, desain lokasi pembangunan sedang disusun.