PALU, KOMPAS — Penyintas bencana gempa disusul tsunami di Palu dan sekitarnya, di Sulawesi Tengah, akhir September lalu, berkesempatan mengusulkan titik relokasi permukiman sebagai hunian tetap kepada pemerintah daerah. Akan tetapi, lokasi usulan tersebut mesti berdasarkan rekomendasi ilmiah dari lembaga berwenang maupun ahli untuk mengurangi risiko dampak bencana.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan, pihaknya membuka usulan tempat yang menjadi tujuan relokasi dari masyarakat penyintas bencana.
"Usulkan lewat pemerintah kota dan kabupaten lalu kami akan ajukan untuk ditinjau secara ilmiah oleh lembaga yang berwenang," katanya dalam rapat koordinasi tingkat provinsi di Palu, Rabu (17/1/2019).
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, rekomendasi ilmiah yang berasal dari ahli dan pakar dibutuhkan untuk membaca siklus bencana alam di daerah rawan. Analisa siklus ini dapat menjadi acuan untuk penataan ruang dan wilayah ke depannya.
Hingga saat ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menggolongkan sejumlah kawasan di Balaroa, Duyu, Talise-Tondo, dan Petobo, Sulawesi Tengah dalam zona kuning dan hijau. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, kedua zona ini memiliki struktur batuan dengan kekuatan sedang.
Artinya, tanah tersebut kuat untuk bangunan satu lantai atau tingkat. Dwikorita menambahkan, kedalaman air tanahnya lebih dari 10 meter sehingga dapat meredam risiko dampak terjadinya likuefaksi.
Meski demikian, Dwikorita mengimbau agar hunian yang didirikan bersifat tahan gempa. Acuannya, Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726.
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto menambahkan, pihaknya akan memasang patok-patok di sekitar zona tersebut. Hal itu bertujuan menegaskan zona yang diizinkan untuk dibangun dan tidak.
Untuk daerah yang rawan likuefaksi, Arie mengatakan, pihaknya akan memadatkan tanah yang menjadi dasar kawasan tersebut. Jalan dan saluran irigasi pun akan dibuat kedap air.
Di hilir, rekomendasi ilmiah tersebut tetap perlu dipaparkan pada masyarakat.
Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gusti Ayu Ketut Surtiari menyatakan, keterlibatan masyarakat dari perencanaan hingga eksekusi relokasi patut digarisbawahi. "Agar pemahaman masyarakat terbangun terhadap rekomendasi ilmiah tersebut, tokoh masyarakat harus terlibat dalam dialog dengan warga," tuturnya.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah hingga awal Januari 2019 mencatat, jumlah rumah yang rusak dan hilang akibat bencana pada September 2018 mencapai 100.028 unit. Sementara itu, jumlah pengungsi berkisar 172.635 jiwa.