BANDUNG, KOMPAS – Semua langkah pembangunan di Jawa Barat harus beradaptasi dengan kearifan dan kondisi alam. Menjadi daerah rentan dilanda bencana, butuh kolaborasi antara pemerintah dan akademisi agar pembangunan di Jawa Barat punya daya tahan hidup yang kuat.
Hal itu dikatakan Guru Besar Ilmu Geoteknik Universitas Katolik Parahyangan Profesor Paulus Pramono Rahardjo saat memamparkan orasi ilmiah dalam Perayaan Dies Natalis ke-64 Universitas Katolik Parahyangan "The Great Unpar : Unpar Peduli" di Bandung, Kamis (17/1/2019).
Lewat orasi bertema "Menyelisik Untaian Bencana di Kepingan Surga Tatar Parahyangan", ia mengatakan, setiap daerah di Jabar memiliki karakteristik tersendiri. Jenis ancaman bencana yang datang berbeda sesuai dengan fenomena alam di daerah tersebut.
Potensi gempa bumi, misalnya, rentan terjadi di daerah yang dilalui Sesar Lembang di Bandung Raya, Sesar Cimandiri (Sukabumi dan Bogor) serta Sesar Baribis (Cirebon). Di Jabar juga terdapat gunung berapi aktif seperti Tangkuban Parahu dan Galunggung.
Paulus menjelaskan, terdapat perbedaan terkait kondisi alam di daerah selatan dan utara Jabar. Daerah selatan didominasi lembah dan gunung dengan batuan yang lapuk. Curah hujan yang tinggi membuat daerah tersebut rentan longsor. Daerah utara sendiri didominasi dataran rendah sehingga sering terjadi banjir. Selain daerah utara, fenomena banjir juga terjadi di daerah cekungan seperti Bandung dan Garut.
“Masyarakat harus tahu kondisi ini. Mereka memutuskan untuk tinggal di daerah rawan jadi harus siap dengan konsekuensi dan adaptasi. Pembangunan harus mengacu pada pengurangan resiko bencana, karena bencana alam tidak bisa diprediksi,” ujarnya.
Kearifan dalam pembangunan, tutur Paulus, menjadi kunci untuk meminimalisir korban dan kerugian materil jika terjadi bencana. Rancangan pembangunan terutama untuk fasilitas umum perlu mendapat konsultasi ahli yang memiliki kemampuan dalam merancang bangunan sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut.
“Kearifan dalam hal ini adalah bagaimana masyarakat bisa memahami lingkungan beserta fenomena alam yang ada. Jangan sembarangan membangun tetapi tidak melihat konsekuensi yang ada. Sudah tahu lahan miring kenapa dijadikan bangunan. Harus ada teknologi yang sesuai, seperti desain yang tidak biasa dan ditangani para ahli,” ujarnya.
Kolaborasi
Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan, kolaborasi pemerintah dan tim ahli kebencanaan diperlukan untuk membangun daerah sesuai dengan potensi bencana . Kamil memaparkan, Jabar mengalami 1.200-1.600 kejadian beragam bencana setiap tahun. Longsor mendominasinya hingga 60 persen kejadian.
“Indonesia memang indah. Tetapi di balik keindahan itu, ada konsekuensi dari fenomena alam. Tanpa ilmu, kita melabeli keseimbangan ini menjadi bencana. Hiduplah seperti Jepang yang menggunakan ilmu sehingga bisa berdampingan dengan alam,” tuturnya.
Kamil berujar, adaptasi menjadi salah satu solusi sehingga edukasi mengenai kebencanaan perlu dilaksanakan. Para ahli dari perguruan tinggi diharapkan bisa memberikan kontribusi dengan melakukan penelitian untuk membantu masyarakat beradaptasi.
“Saya takut mengambil keputusan tanpa data. Oleh karena itu, saya meminta nasihat ke kampus-kampus, seperti Unpar ini. Mereka bisa memberikan data sesuai dengan bidang kajiannya,” tutur Kamil.