Pembangunan Bandara Baru di Bali Dapat Merusak Lahan Adat
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – PT Bandara Internasional Bali Utara (BIBU) Panji Sakti Indonesia bersama tokoh masyarakat Kabupaten Buleleng, Bali, keberatan atas keputusan bakal lokasi bandara baru di Bali Utara. Hal itu dinilai akan merusak lahan adat desa.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/1/2019). Mereka memprotes ketetapan yang dibuat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, mengenai studi kelayakan pembangunan bandara di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali.
Presiden Direktur PT BIBU Panji Sakti Indonesia, I Made Mangku, menyatakan keputusan itu berbeda dengan rencana pembangunan bandara yang dia usulkan sejak 2014. Waktu itu Made mengusulkan agar pembangunan bandara berada di kawasan lepas pantai agar tidak merusak lahan adat.
Pihaknya mengusahakan agar rencana itu disetujui dengan penetapan lokasi oleh Kementerian Perhubungan. Namun, pada 16 Agustus 2018, Dirjen Perhubungan Udara justru memberi izin studi kelayakan bagi PT Pembangunan Bali Mandiri (Pembari), untuk pembangunan bandara di Kubutambahan, yang merupakan lahan milik adat.
Budayawan asal Buleleng, I Gede Suwardhana Putra, mengemukakan, pembangunan tersebut akan berdampak pada Pura di sekitar kawasan Kubutambahan. Selain itu, pembangunan juga akan berdampak pada ritual adat yang dilakukan warga Kubutambahan.
“Masyarakat khawatir hal-hal yang sifatnya ritual agama, seperti prosesi Melasti pada Hari Raya Nyepi, tidak dapat dilakukan di sepanjang akses jalan menuju Kubutambahan,” kata Suwardhana.
Masyarakat khawatir hal-hal yang sifatnya ritual agama, seperti prosesi Melasti pada Hari Raya Nyepi, tidak dapat dilakukan di sepanjang akses jalan menuju Kubutambahan.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Kubutambahan, I Made Suwindra, mengatakan pembangunan bakal lokasi bandara tersebut juga berpengaruh pada perkebunan dan Pura di sejumlah desa. Lahan seluas 420 hektar tersebut berkenaan dengan tiga desa di Kubutambahan.
“Wilayah di Desa Bulian, Desa Depeha, dan Desa Bukti, akan terdampak dengan adanya pembangunan ini. Jangan sampai keturunan kami yang merasakan dampaknya pada sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan,” kata Suwindra.
Suwindra menambahkan, lahan di desa juga berkaitan dengan sawah dan perkebunan milik warga. Harapannya, pembangunan itu dapat lebih memerhatikan lahan yang ada di desa.
Solusi
Menurut Mangku, rencana pembangunan di kawasan lepas pantai menjadi solusi untuk permasalahan lahan adat. Sebab, rencana itu telah dimatangkan dengan uji kelayakan Bersama yang melibatkan konsultan bandara asal Kanada, Airport Kinesis Consulting.
Pembangunan seluas 1.200 hektar tersebut bukan merupakan kawasan reklamasi. Lahan yang digunakan merupakan lahan darat di dekat pantai, dengan tambahan akses jalur yang mengarah ke Kubutambahan.
"Kami akan menyurati presiden dalam rentang waktu satu bulan ke depan. Sebab, surat keberatan atas keputusan Dirjen Perhubungan Udara pada 19 September 2018 tidak direspons Kementerian Perhubungan," kata dia.
Kami akan menyurati presiden dalam rentang waktu satu bulan ke depan. Sebab, surat keberatan atas keputusan Dirjen Perhubungan Udara pada 19 September 2018 tidak direspons Kementerian Perhubungan.
Pembangunan bandara di Bali Utara merupakan upaya untuk mengimbangi jumlah kunjungan wisatawan yang menumpuk di Bali Selatan. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat, jumlah wisatawan asing dan domestik meningkat hingga melebihi 5 juta orang hingga tahun 2017. (ADITYA DIVERANTA)