JAKARTA, KOMPAS — Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/1/2019), digelar bertepatan dengan debat perdana calon presiden-calon wakil presiden Pemilu Presiden 2019 yang salah satunya mengangkat soal hak asasi manusia.
Namun, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, yang rutin menggelar Kamisan setiap Kamis untuk mengingatkan pemerintah soal belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, pesimistis, saat debat akan tampak komitmen para calon untuk menyelesaikan kasus-kasus itu.
Seperti diketahui, pada masa kampanye Pemilu Presiden 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Janji itu pun tertuang di Nawacita yang menjadi visi-misi mereka. Namun, hingga empat tahun pemerintahan Jokowi-Kalla, belum terlihat penyelesaian atas kasus-kasus itu.
Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menerima hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas sejumlah kasus HAM masa lalu, justru terlihat tidak serius menindaklanjutinya. Hasil penyelidikan dinilai kurang bukti, tetapi Kejagung yang memiliki kewenangan untuk mencari alat bukti tak terlihat kesungguhannya untuk mencari bukti yang diperlukan.
Kali ini Jokowi maju kembali di Pemilu Presiden 2019, berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Kompetitornya adalah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Maria Katarina Sumarsih (67), ibunda almarhum Benardinus Realino Norma Irawan, korban tragedi Semanggi I tahun 1998, mengatakan, tidak hanya pada Jokowi-Ma’ruf, tetapi juga Prabowo-Sandi, dirinya tidak berharap banyak, kasus-kasus HAM masa lalu akan bisa tuntas.
Dia pun pesimistis, kasus HAM masa lalu akan diangkat mendalam di debat. ”Ini hanya basa-basi. Debat tidak mempunyai manfaat untuk menyelesaikan kasus HAM. Jangan sampai isu HAM menjadi komoditas politik untuk mendulang suara,” ucapnya.
Litbang Kompas mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu peristiwa pembunuhan massal (1965), penembakan misterius (1982-1985), peristiwa Talang Sari (1989), tragedi penembakan mahasiswa Trisakti (1998), kerusuhan Mei (1998), Tragedi Semanggi I (1998), dan Tragedi Semanggi II (1999).
Meski pesimistis, bapak dari almarhum Sigit Prasetiyo, korban tragedi Semanggi I tahun 1998, Asih Widodo (67), tetap berharap presiden dan wakil presiden yang kelak terpilih berani mengambil keputusan untuk menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu. Mereka tidak boleh melupakan kasus-kasus tersebut, utang penyelesaian kasus setiap periode harus segera dituntaskan.
Selain Sumarsih dan Asih, banyak keluarga korban pelanggaran HAM berat lainnya turut terjun dalam aksi. Seperti biasanya, mereka mengenakan pakaian hitam dan payung hitam. (Melati Mewangi)