JAKARTA, KOMPAS - Ancaman kebijakan moneter dan ekonomi Amerika Serikat, berupa kenaikan tingkat suku bunga bank sentral AS, pada 2019 dinilai tak sebesar tahun 2018. Namun, ketidakpastian ekonomi global dengan situasi perang dagang AS dan China harus terus diwaspadai, terutama terkait ekspansi pasar ekspor produk China ke pasar Indonesia yang dapat membuat industri dalam negeri terpukul.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi pasar dalam negeri dan menseleksi jenis investasi yang masuk ke Indonesia. Jenis investasi yang masuk perlu memberikan nilai tambah dan bermanfaat untuk memacu penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya jenis investasi yang memanfaatkan pasar domestik.
Hal itu mengemuka acara "Kongkow Bisnis bertema "Menanti Asa Perekonomian Dua Calon Pasangan Pemimpin Indonesia" yang diselenggarakan radio Pas FM di Jakarta, Rabu (16/1). "Saya tidak yakin AS akan menaikkan suku bunga tiga kali tahun ini. Ancaman AS dari suku bunga tidak sebesar tahun 2018," kata Ekonom Senior UGM Tony Prasetiantono.
Selain Tony Prasetiantono, hadir sebagai narasumber Wakil Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rahmat Hidayat, Direktur Megawati Institute Arif Budimanta, dan Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan.
Namun, lanjut Tony, ancaman ketidakapstian global pada 2019 tetap ada terutama terkait situasi perang dagang. Meskipun sikap pemerntah AS cenderung melunak, dampak dari situasi perang dagang perlu diwaspadai terutama terkait dengan ekspansi ekspor produk China ke pasar Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan Tutum. Menurut Tutum, sebagai pelaku usaha, pemerintahan dengan presiden terpilih yang baru dalam pemilu 2019, harus membuat kebijakan untuk melindungi pasar domestik. "Pemerintah harus menjaga pasar dalam negeri karena efek perang dagang," katanya.
Tutum menilai kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berani untuk membangun infrastruktur dan konektivitas dapat mempermudah distribusi logistik. Oleh karena itu, pemerintahan hasil pemilu 2019 perlu mempertahankan kebijakan-kebijakan yang sudah baik agar dapat terus terimplementasi.
Rahmat menilai, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, perlu membuat kebijakan-kebijakan dan regulasi-regulasi yang ramah dengan dunia bisnis. Untuk itu, dalam membuat kebijakan dan regulasi, pelaku usaha perlu dilibatkan. Penilaian terhadap pengaruh suatu regulasi sangat penting sebelum regulasi diterapkan.
Terstruktur dan sistematis
Arif mengatakan, tantangan dan pekerjaan rumah bangsa Indonesia masih banyak. Pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini sudah bekerja dengan terstruktur, sistematis, gradual, dan terkontrol dengan berbagai kebijakan dan program yang telah dilaksanakan.
Hal itu, lanjut Arif, antara lain terlihat dari sejumlah indikator seperti rasio dini, tingkat kemiskinan yang berkurang, inflasi yang terjaga, dan pertumbuhan ekonomi yang relatif baik di tengah tekanan ekonomi global.
Arif mencontohkan sejumlah keputusan kebijakan yang dapat membuat Indonesia semakin maju ke depan. Misalnya, kebijakan pengurusan perizinan terintegrasi berbasis elektronik atau online single submission (OSS) yang dapat memangkas kewenangan dan mata rantai birokrasi.
Anthony mengatakan, pemerintah belum mampu menaikkan kinerja ekspor. Hal itu terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai 8 miliar dollar AS. Selain itu, defisit transaksi berjalan juga masih cukup besar sehingga membuat nilai tukar rupiah menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi global dan arus modal keluar dalam investasi portofolio.