JAKARTA, KOMPAS - Tingginya harga tiket pesawat akhir-akhir ini, seperti yang dikeluhkan masyarakat, dinilai karena maskapai harus menyesuaikan harga untuk mencegah kerugian lebih besar lagi. Namun, walau harga telah dinaikkan, tidak ada satupun maskapai yang melanggar tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah.
"Saat ini memang hampir semua maskapai menggunakan tarif hampir menyentuh tarif batas atas. Sebelumnya maskapai menggunakan tarif yang dekat dengan tarif batas bawah. Namun karena saat ini kondisi sedang sulit, maka tarif yang digunakan adalah tarif batas atas," kata Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Ari Askhara, di Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Ari mengatakan, sebenarnya jika hanya menggunakan tarif batas atas saja maskapai masih merugi. Oleh karena itu maskapai mencari tambahan penghasilan dari layanan kargo, bagasi berbayar, iklan, makanan di pesawat, dan sebagainya. Hanya saja, tambahan itu dirasakan masih belum bisa menutupi mengingat biaya operasional terus meningkat.
"Untuk Garuda Group saja, saat ini harus menanggung 60.000 pegawai. Belum lagi harga avtur yang sudah naik 170 persen, nilai tukar, dan sebagainya. Jadi jika semula banyak maskapai yang jor-joran mengenakan tarif terendah, sekarang tidak bisa lagi," kata Ari.
Ari mengatakan, Pertamina memberlakukan harga jual yamg berbeda di Singapura maupun di Indonesia. Di Singapura, Pertamina bisa menjual avtur dua persen lebih murah dari harga provider lain. Namun di dalam negeri, Pertamina menjual avtur lebih mahal 16-21 persen dari harga jualnya di Singapura.
Ari mencontohkan, harga avtur Pertamina pada tanggal 1-14 November 2018 di domestik seharga Rp 12.581 per liter. Sementara untuk internasional seharga Rp 10.066. Lalu tanggal 15-30 November 2018, harga domestik Rp 12.281, harga internasional 10.035. Harga tanggal 15-30 Oktober 2018 di domestik sebesar Rp 12.381, sedangkan di internasional seharga Rp 9.512. "Ini data harga ini berdasarkan invoice maskapai nasional. Mahalnya avtur yang dijual di domestik yang membuat tiket domestik juga menjadi mahal," kata Ari.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie mengatakan, saat ini maskapai dihadapi kondisi yang sangat berat. Pada bulan Desember lalu, yang seharusnya terjadi kenaikan penumpang, malah terjadi sebaliknya. Penurunan jumlah penumpang angkutan udara pada Desember 2018 dibanding 2017 sebesar 9.75 persen.
"Padahal biasanya yang terjadi adalah kenaikan penumpang hingga 10 persen. Jumlah penumpang yang naik dan turun di enam bandara besar juga mengalami penurunan hingga 13,43 persen pada bulan Desember lalu," kata Alvin.
Yang menarik adalah jumlah pergerakan pesawat pada bulan Desember lalu turun 5,56 persen dibandingkan Desember 2017, yakni dari 32.263 di tahun 2017 menjadi 30.470 di tahun 2018.
"Itu artinya maskapai mengurangi penerbangannya. Ada rute-rute atau frekuensi yang dihilangkan. Dengan menurunnya penumpang, berarti pendapatan juga menurun. Masyarakat juga rugi karena konektivitas berkurang," jelas Alvin.
Dia mengatakan, tantangan yang dihadapi maskapai akan lebih besar setelah Tol Trans Jawa ini dioperasikan. Contohnya untuk penerbangan Jakarta-Semarang-Surabaya. "Untuk Jakarta-Semarang mungkin masih ada kendala kemacetan di Tol Cikampek. Tetapi untuk Semarang-Surabaya, saat ini dengan melewati tol hanya butuh waktu tiga jam. Penerbangan Semarang-Surabaya yang harga tiketnya sekitar Rp 1 juta akan mendapat tantangan berat dari tol ini," kata Alvin.
Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, kenaikan harga tiket maskapai sebenarnya masih ada di dalam koridor tarif yang ditentukan pemerintah. Namun karena kenaikannya serempak, maka masyarakat menjadi kaget.
"Maskapai tidak memahami psikologis konsumen. Seharusnya kenaikannya bertahap, tidak serempak. Kemudian, untuk kompensasi dari kenaikan tarif itu, maskapai harus memperbaiki layanannya. Ada banyak yang dikeluhkan masyarakat seperti ketepatan waktu, penggantian bagasi yang hilang atau rusak, dan pengembalian uang tiket yang batal berangkat," kata Tulus.
Baik Tulus maupun Alvin mengatakan, untuk membantu maskapai, sebaiknya pemerintah memberikan insentif yang menarik. Misalnya seperti yang dilakukan Pemerintah Singapura kepada semua maskapai yang membuka penerbangan langsung ke Singapura. Pemerintah Singapura memberikan insentif berupa 100.000 dollar AS per tahun kepada maskapai berupa 50.000 dollar AS berupa uang tunai, dan sisanya berupa iklan, promosi, dan kemudahan yang lain.