Merekam Jejak Tsunami di Banyuwangi
Sabtu (5/1/2019), teriakan minta tolong menggema di antara tabuhan kentungan bertalu-talu di Pantai Mustika, Pancer, Banyuwangi. Siang itu, tsunami dimunculkan dalam simulasi oleh Polda Jawa Timur. Gelombang meluluhlantakkan permukiman warga di Dusun Pancer. Warga lari tunggang-langgang.
Simulasi itu seolah memutar ulang kejadian 24 tahun silam. Sekitar pukul 02.00, Jumat, 3 Juni 1994, Pancer dan sejumlah dusun di pesisir selatan Jawa Timur luluh lantak.
Gelombang tinggi menyapu perkampungan pesisir pantai. Harian Kompas pada Sabtu, 4 Juni 1994, merekam kejadian tsunami itu di halaman 1.
Gempa 5,9 skala Richter mengawali terjadinya gelombang tersebut. Suwoto (93), salah satu penyintas (korban selamat) tsunami, mengisahkan peristiwa yang terjadi kala itu.
”Sekitar pukul 02.00, saya baru selesai patroli keliling gudang ikan. Baru saja saya duduk di kursi, terdengar suara orang berteriak minta tolong. Saat saya mencari asal suara, tiba-tiba saja kursi yang saya duduki hanyut,” tuturnya.
Besarnya gelombang membuat Suwoto ikut tergulung air laut. Beruntung ada pelepah pisang yang berhasil ia jangkau dan ia jadikan pelampung. Suwoto hanyut puluhan meter.
Kala itu, Suwoto tak tahu bahwa air yang menghanyutkan dirinya ialah tsunami. Ia menyebut bencana kali itu gelombang pasang yang tingginya mencapai 6 meter. Ia juga tak merasakan ada gempa sebelum tsunami itu.
Bunari (68), penyintas lainnya, merasakan hal serupa. Jarak rumahnya dengan bibir Pantai Pancer hanya sekitar 50 meter. Saat peristiwa terjadi, Bunari hendak tidur seusai menonton pertunjukan wayang. Ia tak merasakan ada tanda-tanda seperti gempa sebelum tsunami menerjang.
”Kalau ada gempa sebelumnya, pasti orang-orang yang menonton wayang buyar. Ini tidak terasa sama sekali ada gempa,” ujarnya.
Air tiba-tiba masuk memenuhi kamar, hingga mampu mengangkat kasur beserta Bunari dan istrinya yang sedang berada di atasnya. ”Air sangat tinggi. Saya sampai bisa menyentuh langit-langit rumah,” ucap Bunari.
Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman yang menjabat saat itu menyebutkan, korban tewas di seluruh Jawa Timur sebanyak 222 orang, hilang 16 orang, serta korban luka berat dan ringan 440 orang.
Bencana ini menimpa 1.656 keluarga atau 5.682 jiwa. Rumah yang hancur sebanyak 1.355 unit dan 768 perahu rusak atau hilang (Kompas, Rabu, 15/6/1994).
Sebagai pengingat, dibuatlah monumen tsunami. Monumen berupa batu hitam besar diletakkan di atas beton setinggi 2 meter. Di batu tersebut tertulis ”Pada TGL 2 JUNI 1994 HARI JUMAT PK.02.00.
Telah terjadi Gelombang Pasang Tsunami yang mengakibatkan meninggalnya 229 orang Penduduk Pancer, Lampon, Rajegwesi, Kecamatan Pesanggaran”.
Kawasan monumen berukuran 8 meter x 8 meter itu juga menjadi kuburan massal korban tsunami.
Relokasi
Pascakejadian itu, Bunari dan Suwoto memindahkan rumah mereka jauh dari bibir pantai. Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, mengambil kebijakan, rumah korban tsunami dibangun menjauh dari pantai. Jalan desa jadi penandanya. Lahan yang berbatasan dengan pantai akan dijadikan hutan.
Relokasi telah dilakukan. Namun, kini kawasan terdampak tsunami sudah menjadi kawasan permukiman lagi. Bahkan, kawasan yang dulu diterjang tsunami menjadi tempat wisata baru, wisata Pantai Mustika Pancer, yang muncul empat tahun terakhir.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengakui, pihaknya kesulitan untuk merelokasi warga yang berada di daerah bencana. ”Sudah lama kawasan tersebut seharusnya dikosongkan.
Kami tidak pernah menerbitkan IMB (izin mendirikan bangunan) di lahan yang berada di selatan jalan,” ujar Anas, Senin (7/1).
Bangunan-bangunan tersebut, lanjut Anas, dibangun tanpa IMB dan tanpa bukti kepemilikan yang sah. Selain tata ruang, Banyuwangi juga memiliki pekerjaan rumah terkait sistem peringatan dini. Saat ini, sebagian besar sistem peringatan dini tsunami yang dipasang di pantai selatan Banyuwangi rusak.
Menara dan pengeras suara dengan sirene di Pancer yang menjadi bagian dari sistem peringatan dini tsunami tak berfungsi. Alat yang dipasang oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2016 rusak.
Pengeras suara di puncak menara tersebut terhubung dengan sebuah kotak kontrol yang ditempatkan di salah satu sudut rumah Suwoto, penyintas tsunami. ”Embuh isih fungsi opo ora, ketoke yo rusak, karang ora tau dinggo (Entah masih berfungsi atau tidak, kelihatannya memang rusak sebab tidak pernah digunakan),” ucap Suwoto.
Ia mengatakan, dirinya tidak pernah membunyikan sirene tersebut. Biasanya ada seorang petugas yang datang untuk memeriksa dan menguji coba alat itu. Suwoto tahu bahwa alat yang dipasang di rumahnya merupakan alat peringatan dini apabila terjadi tsunami.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi Eka Muharam mengatakan, dari sembilan unit early warning system (EWS) yang terpasang, hanya dua yang masih berfungsi. ”Tujuh unit EWS yang rusak itu merupakan EWS bantuan dari BNPB tahun 2013.
Sementara dua unit EWS yang masih berfungsi merupakan bantuan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tahun 2017,” tuturnya.
Eka mengatakan, tujuh unit EWS pemberian BNPB itu ditempatkan di Kampung Mandar, Blimbing Sari, Muncar, Grajagan, Pancer, Lampon, dan Rajegwesi. Adapun dua unit EWS yang masih berfungsi terdapat di Pancer dan Muncar.
Banyuwangi juga tidak memiliki shelter tsunami. Apabila tsunami kembali terjadi, warga tidak memiliki tempat khusus yang ditujukan untuk menyelamatkan diri dan mengungsi.
Dalam suatu kesempatan, Anas mengatakan, EWS merupakan alat yang membantu manusia untuk lebih siap menghadapi bencana. Menurut dia, jauh lebih penting mengupayakan peningkatan kepekaan masyarakat terhadap tanda-tanda alam sebelum terjadi bencana.
”Masyarakat perlu kembali mendapat sosialisasi mengenai tanda-tanda sebelum terjadi tsunami, misalnya gempa bumi yang diikuti air surut, adanya hewan-hewan tertentu yang keluar, dan sebagainya,” ujarnya.
Bencana memiliki pola berulang dan siklusnya sendiri. Apa yang pernah terjadi akan kembali terjadi lagi tanpa ada yang tahu kapan waktunya. Hanya upaya meminimalkan korban yang bisa dilakukan.
Meningkatkan kewaspadaan dan menyiapkan mitigasi bencana menjadi hal yang wajib. Melihat fakta yang ada, siapkah Banyuwangi menghadapinya jika bencana itu terulang?