JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman Republik Indonesia menyatakan kesalahan administrasi dalam proses penyidikan kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, telah diselesaikan. Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menyerahkan jawaban tertulis berisi perbaikan atas temuan Ombudsman RI.
Komisioner Ombudsman RI menggelar konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/1/2019), untuk menyampaikan hasil pemantauan pelaksanaan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kasus Novel Baswedan yang disampaikan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pada 6 Desember 2018. Pada 11 April 2017, Novel disiram air keras oleh dua orang tak dikenal dan hingga kepolisian belum berhasil mengungkapnya.
Hari ini, Inspektur Pengawasan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Komarul Z menyerahkan jawaban tertulis atas perbaikan empat temuan kesalahan atau maladministrasi yang tertuang dalam LAHP. "Terkait ini sudah kami laksanakan dan selesaikan," kata Komarul.
Atas penyerahan itu, Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala menyatakan, pemantauan pelaksanaan LAHP ini bisa ditutup secara formal. "Empat hal itu kami nyatakan sudah terpenuhi," ucapnya di Kantor Ombudsman RI.
ORI, yang mengaku memprakarsai investigasi tersebut, menemukan empat maladministrasi dalam penyidikan kasus Novel Baswedan oleh penyidik Polda. Ini ditemukan dari 57 kegiatan penyidikan yang dilaksanakan mulai April 2017 hingga Oktober 2018.
Temuan itu terkait aspek administrasi penyidikan (mindik), waktu penanganan perkara, efektivitas penggunaan sumber daya manusia (SDM), dan sumber petunjuk dari kejadian yang dialami korban.
Klarifikasi
Adrianus mengatakan, beberapa perbaikan dan klarifikasi telah didapatkan Ombudsman dari Polda untuk menjawab maladministrasi yang ditemukan.
"Terkait waktu penanganan perkara, dari pihak kepolisian, itu dikatakan berakhir ketika tersangka ditangkap. Untuk ini, kami serahkan kepada pihak kepolisian. Sementara, untuk gelar perkara ini sudah banyak dilakukan," paparnya.
Ia menyebutkan, setidaknya sudah 26 gelar perkara yang dilaksanakan oleh Polda, yaitu dengan KPK 5 kali, Komini Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 4 kali, Ombudsman 5 kali, Komisi Kepolisian Nasional 7, Badan Reserse Kriminal Polri 4 kali, dan terakhir dengan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang dibentuk Kepolisian RI atas permintaan presiden dan Komnas HAM, pada Desember 2018.
TGPF terdiri atas perwakilan KPK, Polri, dan para pakar yang berjumlah 65 orang. Pembentukan tim tersebut, menurut Adrianus, menjadi solusi atas temuan maladministrasi terkait aspek efektivitas SDM. Sebelumnya, sebanyak 177 jumlah personil yang ditugaskan untuk penanganan perkara kasus Novel. Jumlah itu dianggap tidak efektif.
Mengenai aspek petunjuk dari kejadian yang dialami korban yang dinilai diabaikan penyidik, Adrianus mendapat jawaban dari Polda bahwa harus ada permintaan keterangan dari beberapa pihak, yaitu Novel Baswedan dan Komjen Pol Iriawan. Keduanya diharapkan memberi keterangan lebih lanjut mengenai kejadian sebelum kasus penyiraman air keras.
"Dari keterangan yang kami dapat dari Polda, mereka belum berhasil menemui Novel hingga sekarang. Oleh karena itu, Polda memilih langkah informal daripada dengan surat panggilan. Klarifikasi ini kami terima sebagai satu langkah dari Polda," pungkasnya.
Ketika ditemui di Kantor KPK, Selasa (15/1/2019), Novel Baswedan menganggap bahwa penyidikan yang berlarut ini dibebankan kepada dirinya. Dalam penyidikan kasusunya selama ini, ia melihat ada pelanggaran proses.
"Apabila nanti saya dimintai keterangan, saya akan penuhi. Tetapi saya punya syarat, saya meminta tim (TGPF) ini berkomitmen untuk mengungkap semua serangan kepada pegawai KPK sebelumnya. Setelah itu, kemungkinannya dua, yaitu akan ditangani sungguh-sungguh atau hanya akan digunakan untuk menghapus jejak lebih sempurna," ujarnya.
Koreksi ulang
Perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, menilai Ombudsman RI tidak maksimal memeriksa aspek-aspek administratif yang mengakibatkan tertundanya pengusutan kasus Novel.
"Langkah negara dengan membentuk satuan tugas yang berisi puluhan penyidik kepolisian untuk kasus Novel sebelumnya, serta hasil penemuan maladministrasi Ombudsman, harus dikoreksi oleh negara," ujar manager kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri di Kantor Ombudsman.
Amnesty International Indonesia dan beberapa LSM yang membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi juga telah melakukan investigasi. Koalisi tersebut antara lain terdiri dari YLBHI dan Kontras. Selasa (15/1/2019), di Kantor KPK, mereka membacakan rekomendasinya untuk berbagai pihak yang terlibat dalam pengusutan kasus Novel, termasuk Ombudsman.
"Proses penegakan hukum akan teror yang dilancarkan pada pegawai dan komisioner KPK harus menyeluruh mengingat kompleksitas aktor dan dimensi kasus-per kasusnya. Untuk mengusut pelaku teror, aspek-aspek administratif yang mengakibatkan tertundanya pengusutan harus diperiksa Ombudsman," tulis koalisi tersebut dalam laporannya.
Adapun rekomendasi yang ditujukan pada Ombudsman, yaitu mengeluarkan laporan yang objektif atas pemeriksaan adanya dugaan maladministrasi dalam penyidikan kasus Novel. Lalu, melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi terhadap komisioner atau staf yang memiliki konflik kepentingan dalam pemeriksaan dugaan maladministrasi dalam penyidikan kasus penyerangan Novel. (ERIKA KURNIA)