Likuiditas Jadi Tantangan Utama Industri Perbankan
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aspek likuiditas menjadi salah satu tantangan yang harus diantisipasi industri perbankan pada 2019. Selain mengikat devisa hasil ekspor, perbankan perlu meningkatkan himpunan dana dari portofolio untuk memperdalam pasar dan memperbaiki likuiditas.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kartika Wirjoatmodjo menyatakan, tahun ini perbankan lebih agresif menjaring dana, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing (valas), dalam berbagai instrumen guna menjaga likuiditas.
”Peredaran uang, khususnya valas, juga menurun akibat adanya aliran modal ke luar negeri. Dana valas dalam negeri sekarang tidak stabil. Giro valas memang murah, tetapi mudah bergejolak,” tutur Kartika saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Jakarta, Rabu (16/1/2018).
Kartika yang juga menjabat Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menambahkan, eksportir membutuhkan fasilitas perbankan yang menjamin imbal hasil nilai tukar dan kepastian jual valas di masa depan. Di sisi lain, bunga deposito untuk valas yang saat ini diberikan oleh perbankan nasional masih terhitung rendah.
Diberitakan sebelumnya, tingkat kepatuhan eksportir dalam memenuhi ketentuan penerimaan devisa hasil ekspor membaik. Pada 2012, tercatat tingkat kepatuhan eksportir hanya sebesar 56,6 persen. Angka ini meningkat secara bertahap hingga mencapai 99,6 persen pada 2017 dan 98 persen pada Oktober 2018.
Untuk memantau data dan informasi devisa kegiatan ekspor-impor, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan bekerja sama membangun sistem bernama Sistem Informasi Monitoring Devisa Terintegrasi Seketika atau SiMoDIS memungkinkan Bank Indonesia memantau data devisa.
Kartika menegaskan masalah likuiditas dapat diantisipasi melalui berbagai alternatif penghimpunan dana. Berkaca dari capaian 2018, pertumbuhan dana pihak ketiga industri perbankan hanya berkisar 8 persen, lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan kredit yang menyentuh dua digit, mencapai 13 persen.
Kartika menambahkan, kendati biaya dana nonkonvensional lebih tinggi, peningkatan portofolio dana nonkonvensional dapat memperbaiki pengelolaan likuiditas dan mendukung pertumbuhan kredit.
”Secara keseluruhan, Mandiri membidik kenaikan kredit akhir 2019 sebesar 12 persen-13 persen, sedangkan untuk dana pihak ketiga diproyeksikan tumbuh 10 persen,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, peredaran uang, khususnya valas, menurun akibat adanya aliran modal ke luar negeri. ”Dana valas dalam negeri sekarang tidak stabil, giro valas memang murah, tetapi sangat volatil. Akhir tahun lalu giro valas kami turun sekitar 1 miliar dollar AS,” ujarnya.
Galang pendanaan
Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan, berdasarkan rencana bisnis bank yang pihaknya kumpulkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun ini pihaknya menargetkan menghimpun dana wholesale mencapai Rp 40 triliun.
Panji menjelaskan, target pendanaan dalam denominasi dollar AS sebesar 500 juta dollar AS-2 miliar dollar AS, melalui instrumen obligasi, medium term notes (MTN), negotiable certificate of deposits (NCD), dan pinjaman bilateral. Adapun target pengumpulan dana nonkonvensional rupiah dengan target Rp 10 triliun dilakukan melalui penawaran umum obligasi berkelanjutan, emisi MTN, NCD, serta pinjaman bilateral.
”Total dari himpunan dana denominasi dollar AS dan rupiah, jika ditotal, hampir Rp 40 triliun,” ujar Panji.
Pada awal Januari, Bank Mandiri merealisasikan pinjaman bilateral senilai 200 juta dollar AS-300 juta dollar AS yang akan ditarik pada triwulan I-2019. Adapun dana hasil MTN dan NCD maksimal sebesar 1 miliar dollar AS akan diterbitkan pada triwulan II-2019.