PALU, KOMPAS -- Di tengah masa transisi darurat, sejumlah penyintas bencana Sulawesi Tengah telah menempati hunian sementara. Namun, air bersih dan alat penunjang untuk mandi, cuci, dan kakus masih belum memadai.
Permasalahan itu mengemuka dalam kunjungan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (16/1/2018). Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati.
Saat mengunjungi hunian sementara (huntara) Gawalise, Palu Barat, Palu, Doni menyoroti ketiadaan ember dan gayung yang ada di sejumlah kamar mandi. Penghuni huntara kesulitan untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) karena alat penunjangnya tidak lengkap.
Berdasarkan pantauan, di sejumlah kamar mandi hanya terdapat keran. Untuk toilet, hanya tersedia kloset untuk kakus.
Kekurangan air bersih untuk MCK juga ditemui di huntara Silae, Palu Barat. Di kompleks yang terdiri dari 120 unit hunian yang terbagi menjadi 10 blok, air masih menjadi masalah.
Keluhan itu dinyatakan oleh Suharni (35) dan Munifa (45), penyintas yang tinggal di huntara Silae. "Air hanya datang 5 hari sekali. Padahal, dalam 2 hari, air yang datang itu sudah habis," kata Suharni sambil memegangi anaknya yang belum genap setahun, Rabu.
Suharni mengatakan, air diangkut oleh sekitar lima unit mobil truk tangki. Satu truk kira-kira berkapasitas 4.000 liter air yang dipindahkan ke menara air lalu dialirkan lewat pipa ke tiap kamar mandi.
Suharni dan Munifa tinggal di huntara sejak 17 Desember 2018. Sebelumnya, mereka tinggal di pesisir pantai. "Kami merasa nyaman dengan huntara ini. Saat ini, kalau penyintas berkumpul, jumlahnya berkisar 30 orang. Dalam waktu dekat kemungkinan ada tambahan orang," tutur Suharni.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo (berompi cokelat)Ketersediaan air dan alat penunjang alat mandi, cuci, dan kakus menjadi salah satu aspek kelayakan huntara untuk ditinggali. Saat dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gusti Ayu Ketut Surtiari mengatakan, tempat tinggal yang nyaman dan layak menunjang proses adaptasi bagi penyintas.
Dalam kajian, BNPB mendata, jumlah kebutuhan huntara di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, sebanyak 699 unit. Saat ini, yang terealisasi sudah mencapai 634 unit.
Selain itu, BNPB menghitung, total kerugian dan kerusakan akibat bencana yang menimpa Sulawesi Tengah mencapai Rp 23,14 triliun per awal pekan ini. Adapun dana kebutuhan pascabencana berkisar Rp 35,92 triliun.
Andalkan pohon
Dalam kesempatan yang sama, Doni turut menanam pohon di kawasan huntara Gawalise. "Pohon ini berfungsi untuk menahan longsor saat hujan karena tanah kompleks huntara ini lebih rendah dari sekitarnya," ujarnya.
Dari Gawalise, Doni meninjau Pantai Lere yang berada di seberang bekas bangunan Palu Grand Mall. Dalam kunjungan ini, salah satu rencana yang mengemuka ialah menjadikan pesisir Pantai Lere sebagai kawasan vegetasi.
Sebelum meninjau huntara Gawalise, Doni mengadakan rapat tertutup di Gedung Balai Besar Wilayah Sungai Wilayah III, Palu. Rapat turut dihadiri oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah Bartholomeus Tandigala, Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto, dan Dwikorita.
Terkait hasil rapat tersebut, Doni enggan menyebutkannya. "Tunggu hasil koordinasi dengan pemerintah provinsi terlebih dahulu," ucapnya.
Senada dengan Doni, Dwikorita juga tidak menyebutkan hasil rapat tertutup tersebut. "BMKG di sini berkoordinasi dengan BNPB agar kebijakannya sejalan," imbuhnya.