SURABAYA, KOMPAS — Pemilihan Umum 2019 tersisa 91 hari tetapi sosialisasi masih lemah. Kalangan publik belum dapat menentukan pilihan terhadap calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kontestasi tereduksi ke sekadar pemilihan presiden-wakil presiden yang diikuti dua pasang kandidat dan lebih dikenal oleh masyarakat.
Kondisi itu tecermin dalam diskusi menyambut Hari Pers Nasional, Selasa (15/1/2019), di Aula Soetandyo Wignjosoebroto FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Sarasehan dengan tanda pagar #santunbermedia2019 dan bertajuk ”Menyongsong Pesta Demokrasi dengan Bermartabat” itu sekaligus rangkaian acara menyambut Hari Pers Nasional yang akan dirayakan pada bulan depan.
Menurut penilikan oleh sejumlah lembaga survei, media massa, dan kampus di Jawa Timur, tingkat pemahaman publik terhadap Pemilu 2019 ternyata rendah. Surabaya Survey Center, misalnya, merilis bahwa dari 1.070 responden di 38 kabupaten/kota, sebanyak 35,2 persen cuma tahu tahun pelaksanaan pada 2019, sebanyak 34,8 persen tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan, hanya 18,2 persen yang tahu bulan dan tahun kontestasi yakni April 2019, dan 11,8 persen tepat mengetahui waktu pemungutan suara pada 17 April 2019.
Sebanyak 92,5 persen responden tidak tahu bahwa pemungutan suara nanti akan memilih calon presiden-wakil presiden, anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Cuma 7,5 persen yang memahami hak pilih nanti menggunakan lima surat suara. Selain itu, 90,8 persen responden gagal menyebut 16 partai politik peserta Pemilu 2019. Artinya, hanya 9,2 persen yang tahu nama-nama peserta pemilu apalagi nama-nama calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Publik lebih mengetahui pemilihan presiden-wakil presiden. Sebabnya, kontestasi hanya melibatkan dua pasang kandidat, yakni Presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka lebih dikenal dan diketahui daripada nama-nama calon anggota legislatif.
”Padahal, memilih anggota legislatif juga amat penting. Bahkan, tiga bulan jelang pemungutan suara belum ada sosialisasi bagaimana cara memilih yang sah,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo.
Pada pertengahan Desember 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa jumlah warga yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 192.828.520 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 190.770.329 jiwa pemilih dalam negeri dan 2.058.191 jiwa pemilih luar negeri. Adapun dari 190.770.329 juta pemilih domestik, sebanyak 5.035.8876 jiwa di antaranya merupakan pemilih pemula. Mereka ini berusia 17 tahun dalam kurun waktu 1 Januari 2018-17 April 2019 sehingga mendapatkan hak politik untuk memberikan suara dalam kontestasi.
Dalam catatan Agus, lebih kurang 80 juta jiwa merupakan pemilih pemula hingga pemilih dalam kurun usia produktif (maksimal 40 tahun). Mereka ini khususnya pemilih pemula dan yang lahir di atas tahun 1990 merupakan generasi milenial. Untuk itu, Pemilu 2019, dengan banyaknya jumlah pemilih berusia kurang dari 30 tahun, membuat kontestasi saat ini akan dipengaruhi oleh generasi milenial. Siapa yang mendapatkan hati generasi milenial akan memenangkan kontestasi.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau akrab disapa Stanley mengatakan, peran media massa dalam menyosialisasikan Pemilu 2019 belum optimal. Buktinya, tingkat pengetahuan publik terhadap calon anggota legislatif tidak tinggi. Pemilu 2019 terancam tereduksi di mana publik diduga hanya akan memilih capres-cawapres tetapi abai atau asal memilih ”wakil rakyat” di parlemen.
Kondisi itu diperparah dengan keterlibatan pemilik media massa dalam politik praktis sebagai ketua atau pemimpin partai politik. Media massa yang pemiliknya terjun dalam politik praktis menjadi tidak bisa lagi menjadi independen. Pemilik berada di kubu salah satu capres-cawapres yang diyakini turut mengintervensi kebijakan redaksional sehingga pemberitaan condong ke salah satu kandidat. Selain itu, media massa yang ”terpenjara” oleh kepentingan pemiliknya yang pemimpin partai politik tentu akan mengedepankan sosialisasi caleg kelompok tersebut daripada kontestan pesaing. Media massa lain juga amat kurang mengenalkan sosok-sosok caleg.
Yosep mengatakan, secara pribadi tidak punya referensi siapa caleg yang akan dipilihnya nanti dalam pemungutan suara. Pendapat senada diutarakan oleh Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Atal Depari.
”Terus terang saya tidak tahu siapa calon anggota DPRD kota, DPRD provinsi, DPR, dan DPD dari daerah pemilihan tempat saya tinggal di Tangerang Selatan, Banten. Media massa saat ini lebih mengenalkan sosok capres-cawapres,” katanya.
Dosen komunikasi politik sekaligus Ketua Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Universitas Airlangga Suko Widodo juga berpendapat serupa. ”Saya juga bingung mau pilih caleg siapa dari daerah pemilihan Surabaya,” ujarnya.
Sosialisasi caleg harus mulai dikedepankan sehingga publik juga merasa bahwa nanti bukan sekadar memilih pemimpin nasional. Memilih caleg mungkin dianggap kurang menarik tetapi amat penting. Mendudukkan wakil rakyat yang tepat akan membuat parlemen sebagai salah satu lembaga tinggi negara menjadi kuat dan dapat menjalankan fungsi dengan baik.
”Generasi milenial dan pemilih saya harapkan berpartisipasi dalam pemilu dengan memilih atau tidak golput lalu mengawasi jalannya pelaksanaan kontestasi sejak saat ini dan aktif melapor,” kata Suko.
Peran serupa, kata Yosep, yakni mengawasi dan memperingatkan jika ada kekurangan dan kecurangan dalam Pemilu 2019 harus diambil dan dikedepankan oleh media massa. Pemilu merupakan acara besar untuk kepentingan publik. Karena menyangkut kepentingan umum, media massa diperingatkan untuk memberikan perhatian yang cukup menyangkut sosialisasi Pemilu 2019.