Suasana pertemuan di Ombudsman, Senin (14/1/2019).JAKARTA, KOMPAS – Rehabilitasi para penyalah guna narkotika dan obat berbahaya di Tanah Air belum berjalan sesuai harapan. Hingga kini model penyelenggaraan pelayanan publik dalam rehabilitasi penyalah guna narkoba melalui institusi penerima wajib lapor masih terkendala.
Hasil pemantauan Ombudsman RI tahun 2017-2018, kementerian/lembaga terkait program rehabilitasi pengguna narkotika yakni Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemkes), dan Kementerian Sosial (Kemsos) berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi terkait standarisasi program layanan rehabilitasi. Sementara warga belum paham akses rehabilitasi narkoba, dari segi informasi, jaminan hukum,dan keterjangkauan biaya.
“Pada Januari 2017 kami melakukan kegiatan bersifat inistiatif, karena kami mendengar saat seseorang dinyatakan pecandu lalu tidak jelas prosesnya mau ke mana,” kata Adrianus Meliala, Anggota ORI, Senin (14/1/2019), di Jakarta, usai memimpin pertemuan dengan kementerian/lembaga terkait hasil monitoring ORI tersebut.
Dari informasi tersebut, menurut Adrianus, ORI kemudian melakukan grup diskusi terarah dan kunjungan ke lapangan. Hasilnya, ORI menemukan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam proses rehabilitasi penyalahgunaan narkotika melalui institusi penerima wajib lapor (IPWL), ternyata tiga lembaga yakni BNN, Kemkes, dan Kemsos memiliki tata kelola berbeda-beda.
“Undang-undangnya beda, prosesnya beda dan mengatur hal berbeda, padahal sama-sama lembaga negara,” ujar Adrianus yang didampingi Nyoto Budiyanto, Kepala Keasistenan Substansi Penegakan Hukum dan Hankam ORI.
Undang-undangnya beda, prosesnya beda dan mengatur hal berbeda, padahal sama-sama lembaga negara.
Padahal konsep IPWL, yakni penyalah guna narkoba dikenakan wajib lapor, merupakan konsep baru yang memudahkan pengguna mendapat rehabilitasi. Dengan IPWL, pecandu tidak dikriminalisasi sepanjang ia menjalankan wajib lapor. Ternyata, dari pemantauan ORI, sistem itu tak berjalan optimal, karena tiga lembaga terkait berjalan sendiri-sendiri dengan standar berbeda dan akses rehabilitasi tak diketahui warga.
Pada Januari 2018, ORI menyampaikan saran kepada kementerian/lembaga terkait. Selanjutnya, pada Juli 2018 pertemuan digelar di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Hasilnya, Kemenko PMK akan menunjuk koordinator pelaksana koordinasi penyelenggaraan layanan tersebut. Namun, itu belum tak terealisasi.
“Kenapa belum ada (koordinator pelaksana) karena Kemenko PMK belum berbuat, masih akan. Kami akan bertemu dua bulan lagi. Setelah itu kami akan komunikasikan dengan Kantor Staf Presiden, mau diapakan ini. Bukankah maunya Presiden membuat Indonesia bebas narkotika melalui program rehabilitasi narkotika narkotika tapi kalau berjalan satu-satu bagaimana ini ?” tegas Adrianus.
Terkait jumlah penyalah guna narkoba yang memakai layanan IPWL, menurut Adrianus, saat pemantauan ORI 2017, dari sekitar 2 juta penyalah guna narkoba, IPWL hanya menampung sekitar 50.000 orang. Sejauh ini Kemsos menetapkan 16 IPWL, Kemenkes menetapkan 549 fasilitas kesehatan sebagai IPWL di 34 provinsi, dan BNN menetapkan IPWL di pulau-pulau besar.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana pertemuan di Ombudsman, Senin (14/1/2019) di Jakarta.
Pertemuan membahas hasil pemantauan ORI terkait Penyelenggaraan Pelayanan Publik Dalam Proses Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Melalui Institusi Penerima Wajib Lapor itu dihadiri perwakilan BNN, Kemenkes, dan Kemsos.
Yunis Farida, Deputi Rehabilitasi BNN menyatakan perlu ada jalan keluar dari kondisi tersebut. Karena sesuai Instruksi Presiden, lembaga BNN menjadi tanggung jawab Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan (Polhukam), namun untuk pelayanan rehabilitasi berada di bawah Kemenko PMK. Pihaknya menanti koordinator yang akan ditentukan PMK.
“Karena BNN selaku vocal point atau penanggung jawab, apakah bisa dilimpahkan ke BNN, untuk mencari jalan keluar,” kata Yunis.