Kontribusi Pangan terhadap Kemiskinan Masih Besar
JAKARTA, KOMPAS — Pangan masih berkontribusi tinggi terhadap garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian para pemangku kepentingan terkait.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, garis kemiskinan tercatat naik dari Rp 387.160 per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 410.670 per kapita per bulan pada September 2018.
Komposisi garis kemiskinan pada September 2018 didominasi komoditas makanan sebesar 73,54 persen. Adapun komoditas bukan makanan sebesar 26,46 persen.
Beras merupakan pangan yang paling memengaruhi garis kemiskinan. Jenis pangan lain yang turut memengaruhi adalah rokok, telur ayam ras, dan daging ayam ras.
Data BPS menunjukkan, pengaruh beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan perdesaan pada September 2018 masing-masing sebesar 19,54 persen dan 25,51 persen. Besaran itu meningkat dari September 2017 dengan pengaruh beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 18,8 persen dan 24,52 persen.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, kepada Kompas, Selasa (15/1/2019), mengatakan, komoditas pangan memang mendominasi komposisi garis kemiskinan. Hal itu menunjukkan kesejahteraan masyarakat belum membaik.
”Penduduk miskin akan lebih banyak berbelanja ke arah makanan,” ujarnya.
Tony menambahkan, deflasi sejumlah harga pangan memang terjadi. Namun, deflasi tidak menjadi jaminan harga pangan telah terjangkau bagi masyarakat. Kenaikan garis kemiskinan juga diperkirakan terjadi akibat BPS menyesuaikan dengan harga pangan yang masih tinggi.
Deflasi sejumlah harga pangan memang terjadi. Namun, deflasi tidak menjadi jaminan harga pangan telah terjangkau bagi masyarakat.
BPS mencatat, selama periode Maret-September 2018, harga eceran beberapa komoditas pokok sebenarnya mengalami deflasi. Harga beras turun sebesar 3,28 persen, daging sapi 0,74 persen, minyak goreng 0,92 persen, dan gula pasir 1,48 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, stabilisasi harga pangan penting untuk terus dilakukan. ”Kalau harga meningkat, tingkat kemiskinan pasti kembali naik,” lanjutnya.
Ketimpangan tinggi
BPS merilis, angka kemiskinan di Indonesia turun dari 10,12 persen pada September 2017 menjadi 9,66 persen pada September 2018. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang 910.000 orang dari 26,58 juta orang pada September 2017 menjadi 25,67 juta orang pada September 2018.
Suhariyanto menyebutkan, penurunan angka kemiskinan pada September 2018 terlihat dari sejumlah indikator, seperti upah riil buruh tani, nilai tukar petani (NTP), dan inflasi.
Upah riil buruh tani dan NTP naik masing-masing sebesar 1,6 persen dan 1,21 persen pada September 2018. Adapun inflasi cukup terjaga sebesar 0,94 persen selama Maret-September 2018.
”Kendati terjadi penurunan angka kemiskinan, tingkat disparitas kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Persentase kemiskinan di perkotaan dan perdesaan secara berturut-turut adalah 6,89 persen dan 13,1 persen per September 2018,” katanya.
Adapun indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) juga turun. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,79 pada September 2017 menjadi 1,63 pada September 2018. Indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,46 pada September 2017 menjadi 0,41 pada September 2018.
Baca juga: Angka Kemiskinan Terus Menurun
Menurut Suhariyanto, ketimpangan pengeluaran penduduk atau rasio gini turun dari 0,391 pada September 2017 menjadi 0,384 pada September 2018. Rasio gini di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan, masing-masing sebesar 0,391 dan 0,319 pada September 2018.
”Berdasarkan kriteria Bank Dunia, ketimpangan di Indonesia rendah. Untuk menurunkan rasio gini, dibutuhkan upaya yang kuat, di antaranya memperbaiki distribusi pendapatan kelompok penduduk atas dan bawah serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” tuturnya.
Sementara Tony berpendapat, penurunan rasio gini dapat dilihat dari dua sisi. Selain karena pendapatan masyarakat bawah membaik, penurunan dapat terjadi akibat gejolak perekonomian selama 2018 menyusutkan pendapatan masyarakat penduduk teratas. Gejolak perekonomian membuat harga komoditas seperti minyak sawit dan batubara turun.
Direktur Smeru Research Institute Asep Suryahadi menambahkan, dengan terus menurunnya angka kemiskinan, strategi penanggulangan kemiskinan pemerintah mesti diubah. Penanganan perlu difokuskan kepada penduduk sangat miskin, seperti menciptakan sistem bantuan sosial yang dilakukan secara berkala.
”Artinya, bantuan menjadi bagian dari tugas rutin dinas sosial, tidak lagi bersifat program,” kata Asep.
Sementara penanganan masyarakat miskin di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal tetap diprioritaskan melalui pembangunan ekonomi.