Indonesia Alami Defisit Neraca Perdagangan Terbesar sejak 1975
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS atau setara Rp 120,6 triliun. Nilai tersebut merupakan defisit terdalam neraca perdagangan Indonesia sejak 1975.
Defisit neraca perdagangan itu terutama disebabkan defisit neraca minyak dan gas bumi (migas). Besaran nilai defisit migas itu tidak mampu ditutup dari surplus neraca nonmigas. Sebab, kendati surplus, kinerja nonmigas anjlok selama 2018. Impor nonmigas tumbuh lebih tinggi dibandingkan ekspor nonmigas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan migas pada 2018 sebesar 12,4 miliar dollar AS. Adapun neraca perdagangan nonmigas surplus 3,83 miliar dollar AS. Hal itu menyebabkan neraca perdagangan Indonesia pada 2018 defisit hingga 172,38 persen dibandingkan 2017 atau sebesar 8,57 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, terjadi peningkatan seluruh komponen impor migas. Nilai impor minyak mentah 2,1 miliar dollar AS atau meningkat 29,7 persen, hasil minyak 3,05 miliar dollar AS (21,02 persen), dan gas 340,3 juta dollar AS (12,49 persen).
Kenaikan nilai impor migas itu disebabkan pergerakan harga minyak mentah dunia. Kalau harga minyak dunia turun, impor akan turun, begitu juga sebaliknya.
”Pemerintah perlu mencermati hal itu karena pergerakan harga minyak masih akan berpengaruh besar terhadap neraca perdagangan pada tahun-tahun berikutnya,” kata Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Di sektor nonmigas, surplus neraca perdagangan semakin kecil. Data BPS menunjukkan, pada 2018, surplus neraca nonmigas 3,837 miliar dollar AS. Surplus itu jauh lebih kecil dibandingkan surplus neraca perdagangan migas pada 2017.
Hal itu terjadi karena impor meningkat cukup signifikan, yaitu 19,71 persen, yaitu dari 132,66 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 158,81 miliar dollar AS pada 2018. Adapun ekspor hanya tumbuh 6,25 persen, dari 153,08 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 162,65 miliar dollar AS pada 2018.
”Berdasarkan golongan barang, maka peningkatan impor nonmigas pada 2018 yang terbesar terjadi pada besi dan baja (28,31 persen), kemudian plastik dan barang dari plastik (5,8 persen), serta kendaraan dan bagiannya (5,08 persen),” kata Suhariyanto.
Harga minyak mentah
Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Dendi Ramdani, mengemukakan, peningkatan impor migas pada 2018 yang senilai 29,81 miliar juta dollar AS itu membuat impor migas menyumbang 17,4 persen defisit neraca perdagangan 2018.
Salah satu faktor yang membuat nilai impor migas tinggi adalah harga minyak mentah dunia. Meski harga minyak pada Desember 2018 turun menjadi 54,81 dollar AS per barel, rata-rata harga minyak dunia sepanjang 2018 sebesar 71,7 dollar AS per barel.
”Adapun di sektor nonmigas, peningkatan impor terjadi akibat upaya-upaya pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi domestik. Impor besi dan baja meningkat karena digunakan untuk pembangunan Infrastruktur,” katanya.
Adapun peningkatan impor plastik, katanya, disebabkan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang menggunakan plastik. Ada juga kebutuhan masyarakat akan kendaraan dan bagiannya yang semua ini tidak dapat dipenuhi secara menyeluruh oleh produsen domestik.
Dendi berharap agar pemerintah memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia. Di sektor migas, pemerintah perlu serius mengimplementasikan kebijakan mandatori B-20 untuk mengurangi impor migas.
Adapun di sektor nonmigas, substitusi impor perlu terus ditingkatkan. Misalnya, proyek-proyek pembangunan infrastruktur dapat menggunakan besi dan baja dari dalam negeri.
”Pengurangan impor kendaraan dan bagiannya juga perlu dilakukan. Selain itu, hasil produksi otomotif Indonesia dapat diperluas dan masuk ke negara-negara dunia ketiga, misalnya negara di daerah Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Asia Selatan,” katanya.
Tantangan
Menurut Dendi pada tahun ini, defisit neraca perdagangan diperkirakan masih akan terjadi. Pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan impor dan meningkatkan ekspor. Kebijakan pemerintah sudah mengarah kedua upaya itu untuk menjaga agar neraca perdagangan tidak defisit.
”Persoalan di ekspor dan impor itu merupakan permasalahan struktural yang membutuhkan waktu lama guna memulihkan keadaan perekonomian,” katanya.
Sementara, Suhariyanto menyampaikan, pada tahun ini, komitmen dari berbagai sektor pemerintah untuk menghadapi sejumlah tantangan sangat diperlukan. Salah satu di antaranya adalah pengoptimalan implementasi mandatori B-20.
”Tahun ini kita dihadapkan dengan ekonomi dunia yang melambat, fluktuasi harga komoditas dan harga minyak, serta perang dagang,” ujarnya. (SHARON PATRICIA)