Pelari ultra marathon dan hyperman Indonesia, Hendra Wijaya kembali akan menjajal lomba ultra marathon terberat di dunia, The Montane Yukon Arctic Ultra di Kutub Utara, yang akan berlangsung 3-16 Februari 2019 di Whitehorse, Kanada. Hendra yang baru saja menyelesaikan lari amal Bogor-Lombok-Palu sejauh 2.400 kilometer selama 24 hari itu telah bertolak ke Kanada, Selasa (15/1/2019) dini hari tadi. Dia merupakan satu-satunya peserta dari Asia yang berhasil lolos dan memenuhi kualifikasi lomba sangar tersebut.
“Alhamdulillah, saya sehat walafiat tanpa cedera atau sakit. Lari amal “Run to Rebuild” untuk korban gempa dan tsunami kemarin saya anggap sebagai latihan untuk persiapan ke Yukon Arctic Ultra,” kata Hendra kepada Kompas, sebelum bertolak ke Kanada.
Pendekar lari ultra Indonesia itu melakukan lari amal untuk rehabilitasi gempa dan tsunami di Lombok dan Palu sejauh 2.400 kilometer. Dia membaginya dalam dua etape: Bogor-Lombok sejauh 1.400 kilometer (17 November-1 Desember 2018) serta Makassar-Palu, sekitar 900 kilometer (15 Desember-24 Desember 2018).
Hendra merupakan orang Indonesia pertama yang belari di kawasan paling membeku di dunia itu, dengan mengikuti Likeys 6633 Ultra pada tahun 2015 lalu untuk kategori 566 kilometer.
Hendra merupakan orang Indonesia pertama yang belari di kawasan paling membeku di dunia itu, dengan mengikuti Likeys 6633 Ultra pada tahun 2015 lalu untuk kategori 566 kilometer. Saat itu dia menuntaskan lomba selama delapan hari di Kutub Utara dari Eagle Plains, Yukon, ke ujung Samudra Arktik nonstop di Tuktoyaktuk, Alaska, dalam ajang Likeys 6633 Ultra 2015 pada 20-28 Maret 2015.
Untuk mengikuti lomba lari sejauh 700 kilometer dengan rata-rata suhu di bawah 50 derajat celcius atau kurang dengan angin yang membekukan itu, sedianya Hendra akan berlatih bersama tim Thailand di Geographic South Pole (Kutub Selatan). Namun dengan berbagai kendala dan pertimbangan, Hendra akhirnya berlari dari Bogor menuju Lombok, dan dari Makassar ke Palu, Desember lalu sebagai bagian dari ajang Run to Rebuild untuk membantu korban gempa dan tsunami di Lombok dan Palu.
“Anggap saja sambil menyelam minum air,” katanya. Kegiatan lari amal itu juga sekaligus untuk mengetes ketahanan tubuhnya untuk dapat berlari di atas 2.000 kilometer. “Saya ingin menguji apakah tubuh saya butuh waktu panjang untuk recovery? Ternyata tiga hari sepulang dari Palu, saya sudah pulih dan bisa berlatih lari lagi,” ujarnya.
The Montane Yukon Arctic Ultra di Kutub Utara nanti merupakan lomba lari terganas di dunia dan merupakan kiblat bagi para pelari-pelari ketahanan ekstrem dunia. Pelari asal Perancis, Thierry Corbarieu, yang dikenal sebagai pelari paling cepat di ajang Transpyrenea 900 km tahun 2018 saja mengakui jika Yukon Arctic Ultara merupakan ajang yang paling keras, terberat, dan sulit yang akan dia hadapi. Bahkan Corbarieu harus presentasi di negaranya Prancis yang menjadi salah satu kiblat pelari endurance extreme dunia.
“Masak di Indonesia adem ayem saja? Apa belum pada mengerti tentang lomba ini?” kata Hendra. Tahun ini, tercatat sebanyak 38 orang akan mengikuti lari di Yukon itu untuk kategori 430 miles atau 700 km yang berlari selain kategori marathon, 100 mil, 300 mil berlari, sepeda gunung (MTB), serta ski.
Merah Putih
Walapun membawa bendera Merah Putih dan mengibarkan di berbagai ajang lari ultra ekstrem dunia, Hendra praktis harus berjuang sendiri. Bukan hanya menyiapkan diri dengan berbagai latihan sangat keras, dia pun harus merogoh koceknya sendiri untuk membiayai segala persiapan hingga membayar berbagai biaya lomba, akomodasi serta perlengkapan lombanya.
Sejauh ini, perhatian dari pemerintah Indonesia belum seperti yang diharapkan. Kemungkinan karena apa yang diikuti Hendra Wijaya merupakan lomba yang tidak biasa, dan bukan cabang olah raga prestasi yang diperlombakan di Olimpiade atau lainnya.
“Harapan saya, saya bisa finis sehat walafiat di Montane Yukon Arctic Ultra dan mengibarkan bendera Merah Putih untuk kedua kalinya,” kata Hendra. Dia menyadari, lomba yang merupakan lomba lari ultra terdingin dan terganas di dunia (the world coldest and toughest ultra) yang diikutinya merupakan lomba yang sangat berat dan berbahaya, dengan suhu udara bisa mencapai di bawah 50 derajat Celcius.
Pada tahun lalu, hanya seorang peserta saja yang berhasil menamatkan lomba tersebut. Itu pun hanya untuk jarak 480 kilometer. Bahkan, seorang peserta terakhir yang DNF (did not finished) atau tidak menyelesaikan lomba terkena frostbite yang menyebabkan kedua kaki dan satu tangannya diamputasi. “Kali ini saya ikut kategori 700 kilometer yang diadakan setiap dua tahun sekali,” ujar Hendra.
Menurut pelari yang juga pernah berlari di ajang Great Himalayan Race sejauh 1.800 kilometer itu, sejak awal dia sudah mempersiapkan diri untuk berlari di Kutub Utara untuk kedua kalinya ini. “Lari ultra di suhu minus 50 derajat Celcius bukan sekadar lari, tetapi juga harus menguasai teknik-teknik survival,” katanya.
Selain suhu yang luar biasa dingin dengan angin yang membekukan, sulitnya navigasi dengan lintasan salju liar merupakan tantangan tersendiri.
Selain suhu yang luar biasa dingin dengan angin yang membekukan, sulitnya navigasi dengan lintasan salju liar merupakan tantangan tersendiri. “Salah-salah kita bisa terjeblos ke dalam salju yang dalam,” katanya.
Hendra berharap, dengan tantangan dan risiko yang luar biasa beratnya, serta tidak sembarang orang bisa mengikuti lomba Yukon Arctic Ultra, Indonesia seharusnya bangga. “Seharusnya Indonesia bangga, karena ada anak bangsa yang lolos kualifikasi dan untuk tahun 2019 ini ada satu peserta dari Asia,” harapnya. Tetap semangat, Kang Hendra !