PALU, KOMPAS — Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, Badan Nasional Penanggulangan Bencana meninjau proses pemulihan pascabencana di Palu, Sulawesi Tengah, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Peninjauan itu juga bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang dihadapi dalam pemulihan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dijadwalkan akan meninjau Palu dan Lombok pada Rabu (15/1/2019) hingga Sabtu (19/1/2019).
”Intinya, kunjungan ini diharapkan dapat mengatasi masalah pembangunan hunian sementara dan hunian tetap,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dihubungi, Selasa (14/1/2019).
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Jokowi meminta Doni untuk mengawal rehabilitasi dan rekonstruksi lokasi-lokasi terdampak bencana agar dapat segera selesai. Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat jadi prioritas (Kompas, 14/1/2019).
BNPB mencatat, kebutuhan hunian sementara (huntara) di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, sebanyak 699 unit. Saat ini, realisasinya sudah mencapai 634 unit. Sementara kebutuhan huntara di Lombok 47.750 unit. Realisasi hingga saat ini 25.551 unit.
Menurut Direktur Penanganan Pengungsi Kedeputian Penanganan Darurat BNPB Tavip Joko Prahoro, tantangan pembangunan huntara berkaitan dengan kesiapan lahan. Kesiapan itu meliputi aspek status kepemilikan, tingkat keamanan dari risiko bencana, jarak dengan pusat penghidupan masyarakat terdampak, serta luas yang diharapkan masyarakat.
Kesiapan ini, kata Tavip, membutuhkan komitmen pemerintah daerah dalam mendata warga terdampak yang akan masuk huntara. ”Kami harap pembangunan huntara ini segera selesai,” ujarnya.
Secara terpisah, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti menyoroti aspek lokal dalam kependudukan dalam pemulihan pascabencana. Aspek-aspek itu meliputi potensi sumber daya lokal dan karakteristik masyarakat setempat.
Apabila aspek lokal itu tidak diperhatikan, Nuke menyatakan, ada risiko kegagalan masyarakat dalam beradaptasi terhadap keadaan lingkungan secara fisik, sosial, ekonomi, dan budaya setelah terjadinya bencana. Oleh sebab itu, kajian terintegrasi antara ilmu pengetahuan alam dan sosial dibutuhkan.
Terkait pemilihan tempat tinggal, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Gusti Ayu Ketut Surtiari, mengatakan, keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan pemulihan psikis menjadi syarat penting. Menurut dia, syarat tersebut menjadi standar minimal agar para penyintas dapat kembali menjalani hidupnya dengan normal.