Pelanggaran terhadap kebebasan beragama terus terjadi. Menjelang pemilu, isu-isu agama ini sangat rawan dimanipulasi untuk kepentingan politik. Jika hal ini tidak diantisipasi, dapat memicu instabilitas sosial.
JAKARTA,KOMPAS - Menjelang pemilihan umum legislatif dan presiden/wakil presiden, pemerintah diharapkan melakukan pencegahan secara optimal terhadap upaya-upaya menjadikan isu agama sebagai instrumen pemantik instabilitas sosial. Hingga kini, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan beribadat masih saja terjadi di sejumlah daerah.
Belum hilang ingatan peristiwa Desember tahun lalu, saat peristiwa pemotongan nisan salib serta pemindahan ibadat arwah seorang umat Katolik di Yogyakarta, pada Minggu (13/1/2019), di Medan,Sumatera Utara, jemaat Kristen Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadelfia Griya Martubung digeruduk dan dihalangi oleh masyarakat setempat untuk melakukan aktivitas ibadah.
Menurut catatan Setara Institute, gangguan yang terjadi di Medan tersebut bukan yang pertama. Sejak pertama kali peribadatan dilaksanakan pada 11 November 2018, jemaat GBI Philadelfia mengalami beberapa kali penolakan dari beberapa warga.
Pada 15 November 2018, warga melakukan konvoi dengan menggeber suara sepeda motor mengelilingi gereja pada saat ibadah malam. Pada 25 November 2018, warga penolak gereja bahkan masuk ke dalam gereja, membuat video ibadah jemaat. Menyikapi hal tersebut, jemaat tetap tenang dan tidak melakukan perlawanan sehingga tidak terjadi gesekan. Pada 7 Januari 2019, ada surat tembusan dari Camat Medan Labuhan perihal instruksi penutupan GBI Philadelfia.
“Pada 13 Januari 2019, 100-an orang mendatangi Gereja (sekitar) 30 menitan sebelum peribadatan dimulai dan menghalang-halangi dilaksanakannya peribadatan di Gereja yang perizinannya sedang diurus dan terhambat di tingkat kelurahan tersebut,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili, Senin (14/1/2019), di Jakarta.
Menurut Halili, upaya menghalang-halangi aktivitas peribadatan seperti yang dilakukan terhadap Jemaat GBI Martubung di atas nyata-nyata merupakan pelanggaran atas Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pelanggaran hak konstitusional warga jemaat GBI Philadelfia Martubung tersebut menegaskan terjadinya penguatan konservatisme keagamaan, pengerasan identitas keagamaan diri dan peningkatan resistensi terhadap identitas liyan.
Upaya menghalang-halangi aktivitas peribadatan seperti yang dilakukan terhadap Jemaat GBI Martubung di atas nyata-nyata merupakan pelanggaran atas Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
“Aparat pemerintah hendaknya memfasilitasi pemenuhan hak (beribadat), bukan malah sebaliknya, menghambat proses perizinan. Aparat negara dalam konteks ini, mulai dari lurah, camat, pemerintah kota, hingga pemerintah pusat, harus menunjukkan keberpihakan yang nyata bagi seluruh warga di Kota Medan, khususnya kelompok minoritas agama, untuk dapat menikmati hak beragama dan beribadah menurut agama/kepercayaan masing-masing secara merdeka,” ujarnya.
Olah karena itu, Setara Institute mendesak aparat pemerintah setempat agar memproses dan memfasilitasi pengajuan perizinan GBI Philadelfia dengan menjadikan ketentuan konstitusi negara sebagai basis bertindak dalam memastikan jaminan hak konstitusional warga. Selain itu, aparat keamanan juga mesti menjamin keamanan dan ketertiban secara adil bagi seluruh warga, termasuk kelompok-kelompok minoritas.
Halili memperingatkan, menjelang pemilihan umum legislatif dan presiden/wakil presiden, pemerintah mesti serius melakukan pencegahan dan antisipasi terhadap upaya-upaya memanfaatkan isu-isu agama sebagai pemicu instabilitas sosial. Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, isu-isu agama sangat rawan untuk dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Politisasi agama
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta Pendeta Martin Lukito Sinaga dalam diskusi “Modal Spiritual, Populisme Agama, dan Kemajuan Masyarakat” di Universitas Paramadina pekan lalu mengatakan, dalam konteks demokrasi Indonesia, politisasi agama dimanfaatkan dengan memakai cara-cara intoleran yang kian hari berkembang menjadi semacam gerakan populisme.
“Sekalipun demokrasi tidak akan ditolak sebagai mekanisme politik di Indonesia, namun dengan merebaknya politisasi agama, maka selain kebebasan beragama di Indonesia yang akan tertekan, hal ini juga akan menggangsir pilar kebebasan sipil, yaitu toleransi kepada kelompok yang dianggap berbeda,” ucapnya.
Menurut hasil riset dan survei Saiful Mujani (Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Gramedia/PPIM, Jakarta, 2007), politisasi agama yang bercorak intoleran hanya berguna dan berhasil memenangkan kandidat tertentu, tetapi tidak akan menghancurkan demokrasi di Indonesia, kalau dalam kontestasi politiknya melibatkan persaingan terhadap pihak minoritas. Namun, jika hal ini dibiarkan secara berkepanjangan, maka tentu saja akan merendahkan kualitas dan apresiasi atas demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra beranggapan tidak ada tempat bagi populisme agama di Indonesia. Azra yakin populisme agama sulit berkembang di Indonesia karena Indonesia memiliki penduduk dengan agama mayoritas Islam yang bersifat wasathiyah (Islam jalan tengah) dan inklusif. Selain itu, tatanan hukum dan realitas politik Indonesia tidak memberikan tempat bagi gerakan politik yang mengandalkan populisme agama.