JAKARTA, KOMPAS - Pembuangan sampah yang terus terulang di kolong tol di Papango, Jakarta Utara dinilai terjadi karena masyarakat yang belum punya kebiasaan membuang sampah sesuai tempatnya. Kondisi ini diperparah kolong tol yang dibiarkan terbuka tanpa pengelolaan serta jauhnya akses ke tempat pembuangan sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan, salah satu kendala mencegahnya adalah perusahaan pengelola jalan tol yang tidak mengamankan kolong tol sebagai bagian asetnya sehingga kondisinya terbuka. Akibatnya, warga sekitar pun mudah untuk membuang sampah ke sana.
"Memang ketersediaan tempat pembuangan sampah di situ agak sulit, sehingga warga membuang ke sana," katanya di TPST Bantargebang, Kota Bekasi, Selasa (15/1/2019).
Untuk itu, kata Isnawa, pihaknya dan Pemerintah Kota Jakarta Utara akan menempuh upaya antisipasi. Salah satu rencana adalah menempatkan tong-tong sampah (dustbin). Juga menggunakan kolong tol untuk akses lebih baik.
Selain itu juga akan diupayakan langkah edukasi warga untuk membuat bank sampah hingga membuat kompos. Harapannya, pengolahan sampah di rumah tangga menjadi efektif sehingga warga tak lagi membuang ke kolong tol.
Isnawa mengatakan, akses ke kolong tol itu terbatas. Truk sampah tak bisa masuk ke lokasi karena di sekelilingnya merupakan pemukiman padat dengan jalan-jalan gang. Hanya gerobak motor saja yang bisa masuk lokasi untuk mengangkut sampah keluar.
Terkait itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, masalah ini bukan semata-mata soal peraturan daerah yang kurang efektif, namun juga soal kebiasaan warga. Operasi tangkap tangan pun dinilai tak akan efektif karena besarnya jumlah warga DKI Jakarta, yaitu 10,2 juta jiwa.
"Karena yang buang sampah di Jakarta itu jumlahnya 10,2 juta orang. Karena itulah yang harus dilakukan adalah proses. Makanya saya sering katakan kalau soal sampah itu bukan soal adanya aturan saja. Tapi soal proses kebiasaan. Karena yang harus diubah bukan 1-2 orang tapi 10 juta," katanya.
Untuk itu, menurut Anies, guna mengatasinya harus dilakukan kampanye masif. Di beberapa negara, perubahan perilaku lebih lambat dari peningkatan kesejahteraan.
"Sudah sejahtera, pola konsumsinya sudah tinggi daya belinya, tetapi kemampuan memilah sampah dengan baik sering terlambat," katanya menambahkan.
Ia berharap kampanye intensif dilakukan mulai dari sekolah hingga kegiatan warga, dari RT, RW dan PKK sebagai ujung tombak di masyarakat.